BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Prestasi
belajar siswa merupakan hasil yang ingin dicapai dalam proses pendidikan di
sekolah. Prestasi belajar siswa memberikan umpan balik bagi siswa mengenai
sejauh mana keberhasilannya dalam belajar. Prestasi belajar juga memberikan
umpan balik bagi guru mengenai sejauh mana keberhasilannya dalam mengajar. Bagi
orangtua prestasi belajar juga memberikan umpan balik yang menunjukkan sejauh
mana keberhasilannya menyekolahkan anaknya. Jadi prestasi belajar siswa penting
bagi siswa itu sendiri, guru dan orangtua.
Karena
prestasi belajar siswa menunjukkan sejauh mana keberhasilan guru dalam
mengajar, maka guru berkepentingan untuk mengarahkan proses pembelajaran
sehingga menghasilkan prestasi belajar yang tinggi dikalangan siswa. Untuk
mendapatkan pengajaran yang berhasil, kedisiplinan menjadi penting.
Kedisiplinan diperlukan agar pembelajaran terlaksana secara teratur tanpa ada
gangguan yang menghalangi tercapainya prestasi belajar yang tinggi di kalangan
siswa.
Penegakan
kedisiplinan melalui pembelajaran yang teratur merupakan salah satu tugas pokok
guru dalam mengelola kelas. Bisa dikatakan bahwa kedisiplinan pembelajaran
tergantung kepada kemampuan guru itu sendiri dalam mengelola keteraturan kelas.
Di sinilah masalahnya mulai muncul. Ada guru yang terlampau ketat menerapkan
kedisiplinan yang mengakibatkan terbentuknya suasana mencekam yang menghambat
partisipasi belajar siswa, di mana partisipasi itu sendiri kadang-kadang memang
“gaduh”. Sebaliknya ada guru yang terlampau longgar menerapkan kedisiplinan
yang mengakibatkan suasana kelas tidak tertib sehingga menghasilkan partisipasi
belajar yang tidak sungguh-sungguh dari kalangan siswa.
Karena
tidak maksimalnya partisipasi belajar siswa dalam kedua kasus di atas, maka
kecil kemungkinan dihasilkannya prestasi belajar yang tinggi dari proses
pembelajaran dengan kedisiplinan yang terlampau ketat maupun yang terlampau
longgar. Yang lebih berpeluang menghasilkan prestasi belajar yang tinggi
tentulah kedisiplinan yang wajar. Dalam kedisiplinan yang wajar, guru
kadang-kadang harus ketat agar partisipasi terlaksana dengan sungguh-sungguh
tapi kadang-kadang harus longgar agar partsisipasi itu mengalirkan kreatifitas
yang mendorong pencapaian prestasi belajar yang tinggi di kalangan siswa.
Prestasi
belajar siswa penting bagi orangtua karena ia memberi umpan balik mengenai
keberhasilannya menyekolahkan anak. Semua orangtua tentu berharap agar anaknya
memperoleh prestasi belajar yang bagus di sekolah. Namun setiap orangtua
menunjukkan perhatian yang berbeda-beda terhadap pembelajaran anaknya. Ada orangtua yang terlalu
mempercayakan proses pembelajaran anaknya kepada guru sehingga tinggi rendah
prestasi anaknya dinisbatkan kepada guru. Jika anaknya memperoleh prestasi
belajar yang bagus guru dipandang pandai mendidik, tapi jika sebaliknya yang
terjadi guru dipandang tidak pandai mendidik. Ia tidak mempedulikan peran yang
dimainkannya agar anaknya berhasil mencapai prestasi belajar yang diinginkan.
Setiap
anak tentu memerlukan perhatian yang berbeda-beda dari orangtuanya menyangkut
pembelajarannya di sekolah. Perhatian umum bisa diberikan dengan menyediakan
segala kebutuhan belajar. Tapi kadangkala perhatian umum semata-mata tidak
mencukupi. Ada
anak yang memerlukan bimbingan tambahan dari orangtuanya untuk memahami
tugas-tugas belajar, yaitu anak-anak yang lambat belajar. Terhadap anak-anak
yang lambat belajar ini orangtua semestinya berupaya memahami kesulitan belajar
anak dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan tersebut.
Untuk
anak-anak yang cepat belajar sekalipun perhatian umum saja juga tidak mencukupi,
karena biasanya mereka cepat bosan sehingga orangtua perlu memberikan perhatian
khusus agar anaknya selalu bergairah belajar. Bisa saja terjadi anak yang cepat
belajar justru merosot prestasi belajarnya karena ia merasa orangtuanya kurang
mempedulikan kebosanan yang dirasakannya dalam belajar. Jika orangtua tidak
pandai mengatasi masalah ini lambat laun sang anak bisa memberontak sehingga
proses pendidikannya menjadi terganggu.
Uraian
di atas ingin menyatakan bahwa kedisiplinan guru dan perhatian orangtua
diperlukan agar anak memperoleh prestasi belajar yang diinginkan. Namun
kedisiplinan guru maupun perhatian orangtua diwujudkan secara berbeda-beda
sehingga memberi dampak yang berbeda-beda pula terhadap prestasi belajar siswa.
Pola-pola kedisiplinan yang diterapkan guru dalam mengelola pembelajaran siswa,
serta pola-pola perhatian yang diberikan orangtua terhadap pembelajaran
anaknya, beserta dampak yang ditimbulkannya terhadap prestasi belajar siswa, penting
diketahui secara empirik agar bisa dikontrol pada masa mendatang.
Mengingat
pentingnya kedisiplinan guru dan perhatian orangtua terhadap prestasi belajar
siswa, dan masih remang-remangnya pengetahuan empiris mengenai masalah
tersebut, maka kami tertarik untuk mengkaji “Hubungan Kedisiplinan Guru dan
Perhatian Orangtua dengan Prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 83 Jakarta”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, bisa diidentifikasi beberapa masalah yang
berkaitan dengan prestasi belajar siswa sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
gambaran tentang prestasi belajar siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 83 Jakarta?
2.
Upaya-upaya
apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa?
3.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi prestasi belajar
siswa?
4.
Apakah prestasi belajar siswa berhubungan dengan
kedisiplinan guru?
5.
Kedisiplinan yang bagaimanakah yang semestinya diterapkan
guru dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar siswa?
6.
Bagaimanakah gambaran kedisiplinan yang diterapkan guru
dalam proses pembelajaran di kelas?
7.
Upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
kedisiplinan dalam proses pembelajaran yang yang berhasil?
8.
Apakah prestasi belajar siswa berkaitan dengan perhatian
orangtua?
9.
Perhatian yang bagaimanakah yang perlu diberikan orangtua
agar pembelajaran anaknya menghasilkan prestasi belajar yang diinginkan?
10. Bagaimanakah gambaran nyata
perhatian orangtua terhadap pembelajaran anaknya?
11. Upaya-upaya apakah yang
bisa dilakukan untuk meningkatkan perhatian orangtua terhadap pendidikan
anaknya?
12. Apakah prestasi belajar
siswa berkaitan perpaduan kedisipilinan guru dan perhatian orangtua?
13. Perpaduan kedisiplinan guru
dan perhatian orangtua yang bagaimanakah yang bisa meningkatkan prestasi
belajar siswa?
14. Bagaimanakah gambaran nyata
perpaduan kedisplinan guru dan perhatian orangtua dalam rangka peningkatan
prestasi belajar siswa?
15. Upaya-upaya apa saja yang
bisa dilakukan untuk memadukan kediplinan guru dan perhatian orangtua dalam
rangka peningkatan prestasi belajar siswa?
C. Pembatasan Masalah
Mungkin
masih banyak masalah-masalah lain yang
penting menyangkut prestasi belajar siswa. Namun penelitian ini dibatasi
pada korelasi antara kedisiplinan guru dan perhatian orangtua dengan prestasi
belajar siswa sebagai berikut:
1.
Korelasi
antara kedisiplinan guru dengan prestasi belajar siswa.
2.
Korelasi
antara perhatian orangtua dengan prestasi belajar siswa.
3.
Korelasi
antara kedisiplinan guru dan perhatian orangtua dengan prestasi belajar siswa.
D. Perumusan Masalah
Berdasatkan
pembatasan masalah tersebut, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Apakah
terdapat korelasi antara kedisiplinan guru dengan prestasi belajar siswa?
2.
Apakah
terdapat korelasi antara perhatian orangtua dengan prestasi belajar siswa?
3.
Apakah terdapat korelasi antara kedisiplinan guru dan
perhatian orangtua, secara bersama-sama, dengan prestasi belajar siswa?
E. Kegunaan Penelitian
Hasil
penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Memberi
masukan kepada pihak penyelenggara pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Atas Negeri 83 Jakarta,
mengenai gambaran nyata tentang kedisiplinan guru dan perhatian orangtua serta
hubungannya dengan prestasi belajar siswa, sehingga bisa diambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkannya di masa mendatang.
2.
Memberi
masukan untuk penelitian selanjutnya tentang masalah kedisiplinan guru dan
perhatian orangtua dalam hubungannya dengan prestasi belajar siswa.
|
DEKSKRIPSI TEORI,
KERANGKA BERPIKIR, DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
A. Deskripsi
Teori
1. Prestasi Belajar
Menurut Nasution prestasi belajar adalah suatu “perubahan
yang terjadi pada individu yang belajar, perubahan tidak hanya mengenai
pengetahuan tetapi juga kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penguasaan
diri, penghargaan dalam diri individu yang belajar. Menurut Hamalik prestasi
belajar merupakan “suatu bentuk perubahan atau pertumbuhan dalam diri siswa
yang dinyatakan dalam bentuk perilaku baru karena pengalaman dan latihan,
berupa pengertian sikap, penghargaan, kecakapan dan sebagainya. Sedangkan
menurut Suryabrata prestasi belajar merupakan “aktivitas aktual maupun
potensial yang menghasilkan perubahan pada diri seseorang berupa prestasi atau
nilai, sikap dan kerampilan.
Pada
dasarnya seluruh definisi prestasi belajar di atas menyatakan hal yang sama
walaupun redaksinya berbeda-beda, yaitu prestasi belajar ialah perubahan yang
terjadi pada diri siswa sebagai hasil dari proses pendidikan dan latihan yang
terwujud dalam peningkatan aktivitas pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan.
Akan tetapi definisi-definisi tersebut belum operasional, karena perubahan yang
dimaksud dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan belum terukur. Dimensi
pengukuran didapat dari definisi prestasi belajar yang lebih operasional.
Menurut
Gagne dalam Gafur prestasi belajar adalah “penguasaan siswa terhadap materi
pelajaran yang telah diperoleh dari hasil tes belajar yang dinyatakan dalam
bentuk skor. Syah berpendapat bahwa “prestasi belajar merupakan taraf
keberhasilan siswa dalam mempelajari materi, dinyatakan dalam skor dari hasil
tes sejumlah materi pelajaran dalam bentuk tertentu. Tantowi berpendapat bahwa
prestasi belajar adalah tanda atau simbol keberhasilan (achievement)
yang telah dicapai usaha belajar; tanda atau simbol itu biasanya dinyatakan
dalam bentuk nilai, angka atau juga huruf; tanda itu melambangkan
kemampun-kemampun aktual dalam bidang pengetahuan dan keterampilan. Djamarah
dan Zein mengemukakan bahwa dalam proses belajar mengajar “prestasi diartikan
sebagai tingkat keberhasilan dari seluruh bahan pelajaran yang diberikan atau
telah dikuasai 60% oleh siswa.
Berbaga definisi operasional tentang prestasi belajar di
atas tampaknya berangkat dari definisi yang diberikan oleh Gagne, bahwa
prestasi belajar merupakan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang
dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes belajar. Definisi
Syah dan Tantowi tidak jauh berbeda dengan defnisi Gagne, dan hanya memberi
penjabaran lebih jauh mengenai skor; sedangkan definisi Djamarah dan Zein
menambahkan unsur penguasaan minimal 60% terhadap materi pelajaran. Berdasarkan
berbagai definisi ini dapatlah disimpulkan bahwa secara operasional prestasi
belajar adalah skor atau nilai yang diperoleh siswa dari hasil tes belajar yang
menyatakan minimal 60% penguasaan terhadap materi pelajaran.
Dalam definisi di atas perlu dibedakan antara skor dengan
nilai. Menurut Arikunto, skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh
dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab benar oleh
siswa, sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan
tertentu, yaitu acuan normal atau acuan standar. Untuk bisa menunjukkan suatu
prestasi belajar, skor (mentah) harus diubah menjadi skor berstandar 100.
Dengan demikian pemberian nilai prestasi belajar mengacu kepada standar mutlak,
yaitu standar 100. Misalnya, dalam suatu tes siswa A memperoleh skor 24,
sedangkan skor maksimum yang diharapkan 40, maka A sebenarnya hanya menguasai
24/40 x 100% (atau = 60%) dari tujuan instruksional khusus, maka dalam daftar
nilai dituliskan A mendapat nilai 60. Dengan demikian prestasi belajar A
nilainya adalah 60, yang menunjukkan tingkat penguasaan 60% terhadap materi
pelajaran.
Untuk memperoleh skor atau nilai dari prestasi belajar
dilakukan tes. Tes prestasi yang layak diperoleh apabila penyusunannya didasari
oleh prinsip-prinsip pengukuran yang berlaku sehingga menjadi sarana yang
positif untuk meningkatkan proses belajar mengajar. Menurut Gronlund (2007),
sebagaimana dikutip oleh Azwar, suatu tes prestasi belajar yang layak memenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, tes prestasi harus mengukur hasil belajar yang
telah dibatasi secara jelas sesuai dengan tujuan instruksional. Ini disebut
prinsip pembatasan tujuan ukur, dan merupakan langkah pertama dalam penyusunan
tes prestasi belajar. Identifikasi dan pembatasan tujuan ukur bersumber dan
mengacu pada tujuan instruksional yang telah digariskan.
Kedua, tes prestasi harus mengukur suatu sampel yang
representatif dari hasil belajar dan dari materi yang dicakup oleh program
instruksional atau pengajaran. Yang dimaksud dengan sampel hasil belajar dalam
hal ini adalah perwujudan soal tes dalam bentuk item-item yang mewakili semua
pertanyaan mengenai materi pelajaran yang secara teoritik mungkin ditulis.
Untuk dapat mengukur hasil belajar materi pelajaran secara keseluruhan, sample
pertanyaan yang dimuat dalam tes harus representatif, yakni menanyakan semua
materi yang dicakup suatu program secara proporsional.
Ketiga, tes prestasi harus berisi item-item dengan tipe
yang paling cocok guna mengukur hasil belajar yang diinginkan. Hasil belajar
yang hendak diukur menentukan tipe perilaku yang diterima sebagai bukti
pencapaian tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Tes prestasi memiliki
berbagai tipe dan format item yang dapat digunakan sesuai dengan tujuan
pengukuran. Jika tujuan pengukuran mengungkapkan proses mental dan kompetensi
tingkat tinggi guna pemecahan masalah maka dipilih tipe item esai atau pilihan
ganda. Jika tujuan ukur mengungkapkan proses pengingatan fakta dan prinsip
sederhana maka dipilih tipe item benar salah atau tipe jawaban pendek.
Keempat, tes prestasi harus dirancang sedemikian rupa
agar sesuai dengan tujuan penggunaan hasilnya. Berdasarkan prinsip ini, jika
tes dimaksudkan untuk penempatan, disusun item yang tidak terlalu tinggi taraf
kesukarannya dan tidak terlalu luas cakupannya. Jika dimaksudkan berfungsi
sumatif untuk mengukur kemajuan belajar, disusun item yang mencakup
bagian-bagian penting tertentu dari keseluruhan materi pelajaran. Tes sumatif
mengacu pada kriteria penguasaan materi (criterion-referenced test)
harus berisi item-item yang secara komperehensif mengungkap seluruh bagian
materi pelajaran dengan tingkat kesukaran rendah, sedangkan tes sumatif yang
dimaksudkan untuk melihat posisi relatif siswa dalam kelompoknya (norm-referenced
test) berisi item-item dengan taraf kesukaran bervariasi. Jika tes
dimaksudkan untuk diagnostik, disusun item dalam jumlah besar dalam setiap
kawasan materi pelajaran dengan taraf kesukaran rendah, dan karena tujuannya
untuk mengetahui kelemahan siswa fokus perhatian lebih tertuju jawaban siswa
terhadap item-item tertentu dan bukan pada skor keseluruhan.
Kelima, reliabilitas tes prestasi harus diusahakan
setinggi mungkin dan hasil ukurnya harus ditafsirkan dengan hati-hati. Sejauh
mana pengukuran yang dilakukan tes dapat diandalkan dan terpercaya berpengaruh
besar terhadap penafsiran hasil pengukuran. Tes yang tidak dapat memberikan
hasil yang konsisten (reliable) akan menimbulkan penafsiran yang keliru
mengenai aspek yang diungkapnya. Kekeliruan bisa terjadi karena adanya
kesalahan pengukuran yang antara lain bersumber dari dalam tes itu sendiri,
yang dapat dikurangi antara lain dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas
item tes tersebut.
Keenam, tes prestasi harus dapat digunakan untuk
meningkatkan belajar para anak didik. Manfaat inilah yang lebih penting dari
penggunaan hasil tes prestasi belajar daripada sekedar untuk mengisi rapor
siswa. Pengaruh positif tes prestasi terhadap peningkatan belajar yang maksimal
bisa diharapkan apabila hasil tes prestasi secara akurat dapat mencerminkan
pencapaian tujuan instruksional dan bila tes prestasi dapat mengukur sampel
hasil belajar dengan layak. Karena tujuan utama pengukuran prestasi belajar,
baik formatif maupun sumatif, adalah untuk peningkatan belajar siswa, maka
hasilnya harus dikomunikasikan kepada siswa. Apabila siswa dapat mnemandang
hasil tes sebagai saran untuk menolong peningkatan belajar mereka, bukan hanya
sebagai dasar pemberian angka atau nilai rapor, maka fungsi tes sebagai
motivator dan pengarah dalam belajar telah tercapai.
Prestasi belajar seorang murid dilihat dari buku laporan
pendidikan (raport) yang diisi setiap semester. Tinggi atau rendahnya
dan baik atau buruknya prestasi siswa (peserta didik) tertulis pada buku
raport. Gambaran prestasi seseorang peserta didik yang tertulis pada buku
raport diisi setelah melalui tes atau ulangan-ulangan baik berupa ulangan harian/tes
formatif, tes sumatif, bahkan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan pelajaran
yang diberikan guru kepada muridnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
prestasi belajar merupakan tingkat keberhasilan yang dicapai seseorang dalam
proses belajar dengan jangka waktu tertentu. Keberhasilan belajar itu berwujud
perubahan-perubahan yang terukur dalam pengetahuan (ranah kognitif), sikap
(ranah afektif), dan ketrampilan (ranah psikomotorik). Nilai berupa angka atau
huruf yang diperoleh dari tes prestasi belajar pada akhir catur wulan,
semester, atau masa pendidikan, merupakan simbol dari hasil belajar siswa.
Seorang siswa mencapai prestasi belajar apabila sekurang-kurangnya memperoleh
skor atau nilai yang menunjukkan penguasaan 60% dari pelajarannya.
2. Kedisiplinan Guru
Kedisiplinan,
sebagai aspek yang umum dalam setiap kelas, sulit untuk dikaji. Kedispilinan
tidak muncul sebagai entitas tersendiri melainkan kumpulan dari banyak faktor.
Uraian ini akan dimulai dengan mitos-mitos di sekitar kedisiplinan, keterkaitan
kedisiplinan dengan pembelajaran dalam pengelolaan kelas yang efektif, berbagai
jenis pengelolaan kelas yang digunakan guru untuk mendorong kedisiplinan dan
pembelajaran siswa.
Dalam
kajian Kindsvatter & Levine, ada dua puluh mitos tentang kedisiplinan dalam
kelas. Mitos-mitos terebut diterima secara luas dan menjadi dasar bagi
pengambilan keputusan guru. Akan tetapi, menurut Kindsvatter & Levine, jika
dicermatai lebih dalam mitos-mitos terebut tidak valid secara pedagogis, bahkan
secara keseluruhan merusak prinsip-prinsip umum yang sudah diterima masyarakat
demokratik: penghormatan terhadap harga diri siswa, penstrukturan kelas
berdasarkan kebutuhan dan kecendrungan siswa, penggunaan wewenang guru dalam
kelas secara adil, dan tanggungjawab guru untuk memotivasi siswa.
Mitos-mitos
tentang kedisiplinan, disertai pasangannya prinsip-prinsip kedisiplinan yang
demokratis, disajikan dalam tabel berikut:
Tabel
1. Mitos-mitos Kedisiplinan
Mitos
kedisiplinan
|
Prinsip
mendukung
|
1. Perilaku meyimpang siswa
adalah kesalahan siswa itu sendiri.
|
Perilaku meyimpang disebabkan
banyak faktor, bisa juga karena karakter atau praktek guru.
|
2. Kedisipilinan
dipahami secara realistik sebagai pertarungan kekuasan antara guru dengan
siswa.
|
Akal dan bukan paksaan, merupakan
basis yang kuat bagi kedisiplinan, kedisiplinan ialah melakukan sesuatu untuk
siswa dan bukan melakukan sesuatu terhadap siswa.
|
3. Kendali yang bagus
tergantung kepada penemuan aturan yang benar.
|
Kendali yang bagus didapat melalui penilaian yang benar
terhadap sistem kepercayaan.
|
4. Setiap guru bisa
mengelola disiplin kelas secara paling efektif.
|
Potensi guru berbeda-beda dalam mengelola kedisiplinan
kelas, karena perbedaan kepribadian dan sistem kepercayaan.
|
5. Guru yang terbaik ialah
yang memiliki kelas dengan siswa paling jarang berperilaku menyimpang.
|
Intimidasi bertentangan dengan kemanusiaan, ia hanya
menunjukkan rendahnya ketrampilan interpersonal guru atau kematangan
sosialnya.
|
6. Kelas
yang baik ialah kelas yang tenang.
|
Sifat kegiatan belajar yang
semestinya menentukan sifat partisipasi siswa, dan kadang-kadang kegaduhan
partisipasi—pada taraf yang masuk akal—diinginkan.
|
7. Guru
semestinya tidak tersenyum sebelum Lebaran.
|
Gaya mengajar yang menghindari
rasa humor dan didasarkan pada sosok yang angker justru merusak.
|
8. Tanggapan
guru terhadap perilaku menyimpang semestinya selalu diarahkan pada perilaku
menyimpang itu sendiri.
|
Menanggapi perilaku menyimpang
tertentu secara langsung, terarah, dan tepat sesuai dengan konteksnya mungkin
mustahil bagi guru. Akan tetapi akibat logis dari setiap perilaku menyimpang
sama saja; maka tanggapan umum yang menekankan perbaikan perilaku sering
lebih tepat.
|
9. Hukuman itu mendidik.
|
Akibat yang logis ialah yang difokuskan pada
kepentingan terbaik siswa, hukuman hanya memenuhi kepentingan penghukum.
Hasil yang pasti dari hukuman ialah penderitaan si terhukum. Belajar
menghormati dan menghargai, bukan ketakutan, yang semestinya ditanamkan melalui
kedisiplinan.
|
10. Guru harus menggunakan
hukuman yang keras karena siswa-siswa yang “badung” tidak akan kapok dengan
hukuman ringan.
|
Untuk siswa-siswa yang mengalami hukuman keras di
rumah, justru guru harus memperlakukan mereka dengan bersahabat dan
berpengertian sesuai dengan prinsip-prinsip relasi kemanusiaan.
|
11. Perilaku
guru hanya bisa dipahami dalam pengertian peran instruksionalnya.
|
Dari sudut pandang kebutuhan
manusia pribadi, pengajaran ialah alat yang penting dalam kehidupan guru
untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis seperti kekuasaan, keamanan,
harga diri.
|
12. Perilaku
siswa hanya bisa dipahami dalam pengertian perannya sebagai siswa.
|
Kebutuhan sosial dan psikologis
siswa juga ada dalam kelas. Kebutuhan siswa untuk sosialisasi dan status
tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan akademiknya.
|
13. Siswa
tidak mengetahui bagaimana berperilaku yang pantas.
|
Siswa tidak perlu diajari
bagaimana berperilaku yang tepat selain diyakinkan bahwa kepentingan terbaik
mereka sesuai dengan harapan guru dan sekolah.
|
14. Siswa
sengaja ‘menguji’ guru untuk menemukan apa yang bisa mereka dapatkan darinya.
|
Tidak ada konspirasi yang sadar
dari sisi siswa untuk menguji guru. Akan tetapi siswa tidak nyaman secara
psikologis sampai mereka mengetahui batas-batas—de facto bukan de
jure—kebebasan mereka dalam kelas.
|
15. Guru
semestinya tidak memeriksa catatan siswa untuk mencegah timbulnya prasangka
karena informasi negatif.
|
Guru semestinya mengetahui
sebanyak mungkin informasi tentang siswanya untuk mengambil keputusan yang
paling sesuai kepentingan siswa.
|
16. Konsistensi
harus didahulukan dari segala pertimbangan yang lain.
|
Penilaian guru yang mendalam dan
adil harus didahulukan daripada konsistensi yang kaku.
|
17. Menyibukkan
siswa bekerja akan mencegah perilaku menyimpang.
|
Menyibukkan siswa dengan penugasan
yang penuh perhitungan sangat penting bagi keteraturan kelas maupun
produktivitas belajar, akan tetapi kesibukan bekerja tanpa kesadaran tidak
pernah dibenarkan. Lebih jauh, kesibukan bekerja menimbulkan kebosanan yang
pada gilirannya merangsang perilaku menyimpang.
|
18. Siswa
akan menurut jika diberi insentif tertentu yang memadai.
|
Imbalan yang tepat memang sudah
pada tempatnya, akan tetapi insentif yang bersifat menyogok tidak hanya tak
pantas bahkan bisa diperalat siswa untuk memanipulasi guru.
|
19. Siswa
akan baik pada guru jika mereka mengaggap guru sebagai ‘gangnya’.
|
Peran guru yang benar mencakup
wewenang dan kepemimpinan, dan kredibilitas dan efektifitas guru akan
direndahkan oleh sebagian perilaku guru yang dimaksudkan hanya untuk mencari
popularitas.
|
20. Semua
perilaku menyimpang harus diatasi dengan langsung dan tuntas.
|
Perilaku menyimpang yang
mengganggu pembelajaran harus dihentikan begitu terdeteksi. Namun, sebagian
perilaku menyimpang memerlukan kepekaan guru pada kebutuhan siswa terhadap
bantuan, sehingga guru semestinya tidak terlalu cepat menjatuhkan ponis yang
hanya akan memperunyam masalah.
|
Sumber: Kindsvatter, Wilen, & Ishler, 2006, h 83-85.
Dari
tabel di atas tampaklah bahwa kedisiplinan sering dipandang hanya sebagai
reaksi terhadap perilaku menyimpang dan usaha memulihkan keteraturan kelas.
Jika ini yang terjadi maka tujuan bisa menghalalkan cara yang justru akan
membangkitkan teknik-teknik pengendalian yang menyesatkan. Akan tetapi
kedisiplinan yang mendidik adalah yang menggunakan pendekatan demokratik
Pendekatan ini berfungsi sebagai pemandu maupun pemeriksa tehadap keputusan
guru yang terkait dengan kedisipilinan.
Untuk
menerapakan kedisiplinan yang demokratik menurut Kindsvatter, Willen &
Ishler pertama-tama perlulah dijernihkan korelasi antara kedisiplinan dengan
pembelajaran itu sendiri. Banyak strategi dan perilaku guru yang dimaksudkan
sebagai pembelajaran efektif berjalan secara simultan dengan, akan tetapi
diciutkan menjadi, usaha pengurangan perlaku menyimpang siswa. Sebagian
perilaku guru bercorak pembelajaran, sebagian lagi bercorak pendisiplinan.
Antara kedua kutub ekstrim ini ada wilayah yang disebut pengelolaan kelas.
Strategi pencegahan dan strategi pengelolaan kelas, misalnya menyatakan harapan
secara jelas atau membangun kebiasaan kelas secara efektif, terdapat di dalam
wilayah ini. Pengelolaan kelas oleh guru dengan demikian pada esensinya
melibatkan pembelajaran dan pengendalian perilaku atau pendispilinan.
Sebagaimana
diperagakan pada Gambar 1, pengelolaan terdapat diantara dua kontinuun
pembelajaran dan pendisplinan. Ini menunjukkan bahwa kelas bisa dikelola dengan
menggunakan disiplin yang keras dan otoriter sebagaimana berlaku dalam sistem
militer. Masalah pengendalian perilaku minimal dan dilakukan dengan cepat dan
efisien. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa kelas bisa dikelola dengan
menggunakan praktek pembelajaran. Semua siswa sibuk mengerjakan tugas indvidual
di meja masing-masing dan guru memberi bantuan kepada siswa yang memerlukan
seperti layaknya sebuah laboratorium industri.
Pendekatan
kedisiplinan yang demokratik menurut Kindsvatter, Wilen, & Ishler memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: (1) didasarkan pada prinsip-prinsip pedagogis dan
relasi kemanusiaan dan dalam semua keadaan menjaga martabat dan integritas
pribadi siswa, (2) mengembangkan kepercayaan yang secara demokratis
menghasilkan hasil belajar-sosial dan personal yang penting, (3) memantulkan
kepercayaan bahwa peningkatan kendali diri siswa tidak kalah pentingnya
daripada mencapai apa yang mereka kehendaki, (4) dimaksudkan untuk melakukan
sesuatu untuk siswa ketimbang melakukan sesuatu terhadap mereka, (5) mencegah
pembesaran masalah yang sudah mengganggu siswa.
Senada
dengan pendapat di atas, Cole & Chan berpendapat bahwa pengelolaan kelas
merupakan konsep yang cukup luas dan merujuk kepada atribut kedisiplinan,
efisiensi pembelajaran, dan ketrampilan organisas. Dalam pengertian ini konsep
pengelolaan kelas oleh guru mengandung arti perlunya kedisiplinan
diintegrasikan dengan kompetensi pembelajaran dan keorganisasian. Sehubungan
dengan itu menurut Cole dan Chan ada empat strategi pengelolaan kelas, yaitu
(1) strategi M, (2) strategi R, dan (3) strategi P, dan (3) strategi C.
Strategi
M berusaha memelihara (maintenance) efisiensi pembelajaran dan
pengembangan lingkungan yang mendukung untuk pembelajaran dalam kelas.
Tujuannya ialah mencegah penyimpangan dan memperkecil kemungkinan terjadinya
situasi konflik dan krisis dengan mengembangkan program pembelajaran yang tepat
dan mengorganisir lingkungan belajar yang mendukung. Siswa-siswa yang memiliki
tujuan dan motivasi yang tepat untuk belajar jarang sekali memerlukan tindakan
pendisiplinan oleh guru. Siswa yang tertarik pada materi pelajaran dan
memandang mulia korelasi antara guru dan siswa kecil kemungkinannya melakukan
penyimpangan. Demikian juga, guru yang berhasil menciptakan iklim kelas yang
teratur dan memenuhi kebutuhan individual siswanya tidak akan mengalami
kesukaran dalam pengeloalan kelasnya. Penggunaan strategi M mensyaratkan agar
guru menciptakan dan memelihara keteraturan kelas dengan cara menerapkan
aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, dan prosedur-prosedur melakukan aktivitas
dalam kelas.
Strategi
R didasarkan pada penguatan (reinforcement) dan teknik-teknik
modifikasi perilaku lainnya. Seperti halnya strategi M, tujuan utama strategi R
ialah untuk mendorong penyesuaian perilaku dan mencegah munculnya perilaku
menyimpang. Guru-guru yang menggunakan strategi R memakai teknik-teknik operant
conditioning untuk mengendalikan perilaku siswa. Dalam teknik ini perilaku
siswa yang sesuai diberi imbalan, misalnya berupa pujian atau dorongan, dan
sebaliknya perilaku siswa yang tidak sesuai diberi hukuman. Hampir semua bentuk
imbalan dan pujian menimbulkan dampak yang bagus dan membantu guru
mengembangkan iklim yang positif dalam pengelolaan kelas. Pemberian hukuman
juga bisa mengubah perilaku siswa secara efektif akan tetapi sering pula
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan jika digunakan secara serampangan.
Bahkan hampir semua bentuk hukuman berpotensi menimbulkan dampak yang merusak
terhadap korelasi antara guru dan siswa.
Strategi
P juga memainkan peranan penting dalam pengelolaan kelas. Strategi ini
tergantung kepada kemampuan guru membujuk (persuade) siswa untuk
menyesuaikan diri dengan norma-norma perilaku sosial yang diterima. Staregi ini
didasarkan pada penggunaan teknik-teknik bimbingan dan konseling untuk mengubah
perilaku siswa. Guru-guru yang menggunakan teknik ini memiliki komitmen yang
kuat terhadap nilai bujukan dan mampu “berbicara dengan siswa dengan bahasa
yang mereka pahami”. Empati guru merupakan faktor yang penting dalam
efektifitas penggunaan strategi P. Strategi ini paling digunakan dalam
lingkungan yang bebas-tekanan di luar jam kelas yang biasa. Namun para guru
sering skeptis dengan strategi P dan berpendapat bahwa strategi tersebut
terlalu memakan waktu dan tidak banyak yang dapat dihasilkan dari “berbicara
dengan siswa tentang masalah mereka”. Walaupun penggunaan teknik ini jarang
menghasilkan perubahan perilaku yang cepat akan tetapi bisa menghasilkan
perubahan perilaku yang bertahan lama.
Strategi
C didasarkan kepada teknik pengendalian konflik dan krisis (conflik and
crisis control). Teknik ini digunakan untuk mengatasi
masalah-masalah perilaku yang merusak kelas dan membutuhkan intervensi langsung
dari guru. Tujuannya ialah untuk mendifusikan situasi masalah sebelum segala
sesuatunya tidak terkendali. Jika ada krisis yang mengganggu kelas, misalnya
keributan yang bisa berujung pada perkelahian, sejumlah langkah pemecahan
disarankan untuk guru: (1) tetap tenang, tidak kalap dan bereaksi secara
emosional yang justru bisa memperburuk keadaan, (2) melakukan pendekatan secara
tenang dan memastikan agar siswa mendengarkan guru, (3) memisahkan siswa-siswa
yang bermasalah dari kelas, (4) memastikan agar siswa yang tidak terlibat
keributan kembali mengerjakan tugas kelas atau tugas sekolah lainnya, (5)
meminta siswa-siswa yang bermasalah untuk menjelaskan perilaku masing-masing
dan memberikan resolusinya secara adil, dan (6) mengembalikan siswa yang
bermasalah ke kelas masing-masing, dalam hal ini pelibatan langsung dalam
kegiatan kelas akan mempercepat solusi, namun jika perlu siswa yang
berulangkali menimbulkan masalah dipisahkan dari kelas.
Keempat
strategi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun
menurut Kounin, Good & Brophi, dan Doyle di antara keempat strategi paling
efektif sebagai basis bagi pengeloalan kelas ialah strategi M. Menurut Cole
& Chan masing-masing dari keempat strategi efektif untuk masalah
kedisiplinan yang berbeda dan waktu yang berbeda, akan tetapi strategi M lebih
mungkin berhasil dalam jangka waktu yang lama. Jika guru memiliki program
pembelajaran yang terususun dengan baik. Kebutuhan untuk menerapkan ketiga
strategi yang lain akan berkurang. Namun demikian dalam pelaksaannya, strategi
yang lain tetap dibutuhkan jika muncul masalah-masalah kedisiplinan yang memang
hanya bisa dipecahkan dengan strategi-strategi tersebut.
Menurut
Cole & Chan, prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang berhasil bisa
dikelompokkan ke dalam empat kategori: Kategori pertama berkaitan dengan sikap
guru, kategori kedua dengan peningkatan lingkungan kelas positif, kategori
ketiga dengan penetapan aturan-aturan kelas, dan kategori keempat dengan
prosedur yang efektif untuik mengatasi siswa yang bermasalah. Kategori-kategori
tersebut dijelaskan satu persatu sebagai berikut.
Kategori pertama,
sikap guru terhadap pengelolaan kelas. Efektifitas pengelolaan kelas sebagian
besar tergantung pada sikap guru dan hubungan yang terbentuk antara guru dengan
siswa. Sikap guru yang disarankan ialah: (1) Membentuk hubungan positif dengan
siswa. Tugas pengelolaan lebih mudah dilakukan dalam kelas yang terdapat
hubungan bersahabat dan terpercaya antara guru dengan siswa. (2) Mengembangkan
pandangan positif terhadap siswa, walaupun terhadap siswa yang sering
menimbulkan masalah kedispilinan. Siswa yang berperilaku menyimpang lebih
mungkin memberikan tanggapan positif terhadap saran guru apabila mereka
mengetahui bahwa sang guru memiliki pengertian yang empatik dan penerimaan yang
tulus terhadap pribadi siswa. (3) Mengembangkan pendekatan yang percaya diri
dan optimistik dalam pengelolaan kelas. Siswa akan memberikan tanggapan yang
baik kepada guru yang menunjukkan kehendak yang kuat untuk membangun sistem
pengelolaan kelas yang efisien.
Kategori kedua,
memajukan lingkungan kelas yang positif. Pendekatan yang positif terhadap
manajemen kelas memerlukan pengambilan langkah-langkah yang konstruktif untuk
memajukan lingkungan belajar yang mendukung dan mendorong siswa agar menghargai
tujuan tersebut dan agar berperilaku secara tepat untuk meraihnya. Untuk itu
disarankan para guru: (1) Menerapkan praktek pengelolaan kelas yang didasarkan
pada pencegahan daripada pengendalian. Perilaku menyimpang kecil kemungkinan
terjadinya jika lingkungan belajar terstruktur secara tepat sehingga
memperkecil peluang terjadinya penyimpangan. (2) Menyusun program kelas yang
memperkecil kegaduhan dan kelambatan. Para siswa seringkali menjadi gaduh jika
mereka harus menunggu bahan belajar atau jika kegiatan belajar terputus. (3)
Membentuk prosedur pengelolaan berdasarkan komtimen yang kuat terhadap
kebiasaan bekerja secara teratur. Siswa yang terlibat aktif dalam tugas
individu biasanya mudah dikelola, terutama jika kegiatan tersebut sesuai dengan
minat dan kemampuan mereka. (4) Mengubah prosedur kelas yang menyebabkan
kegaduhan atau kegalauan. Perilaku menyimpang kadang-kadang merupakan hasil
langsung dari pembelajaran yang buruk atau pengelolaan yang keliru oleh guru
dan oleh karena itu penting sekali bagi guru untuk mengubah prosedur yang tidak
substansial yang membawa kepada konfrontasi atau ketidakharmonisan.
Kategori ketiga,
menetapkan aturan-aturan kelas. Pendekatan positif terhadap pengelolaan kelas
mensyaratkan agar siswa menyadari batas-batas perialku yang diterima dan tidak
diterima. Seperangkat aturan yang masuk akal mestilah dirumuskan secara jelas
dan siswa perlu diberi informasi yang gamblang tentang konsekuensi dari
pelanggaran aturan. Prinsip-prinsip yang
disarankan pada guru ialah: (1) Membentuk kebiasaan pengelolaan sejak
dini pada awal tahun belajar. Siswa lebih mungkin memberikan tanggapan positif
terhadap prosedur pengelolaan kelas yang dilaksanakan sejak dini dalam program
belajar. (2) Mengupayakan partisipasi siswa dalam menegakkan aturan-aturan
kelas. Siswa pada umumnya mendukung sistem tatanan di mana mereka terlibat
dalam membentuknya. (3) Menjelaskan kepada siswa alasan-alasan dibalik setiap
aturan. Siswa akan memberikan tanggapan yang positif jika mereka mengetahui
keharusan tatanan dan memahami kewajiban-kewajiban mereka terhadap kelas. (4)
Menetapkan sesedikit mungkin aturan dan memastikan bahwa aturan tersebut
dinyatakan secara sederhana sehingga bisa dipahami semua siswa. Siswa akan
bingung jika jika aturan terlalu banyak atau bercampur dengan yang tidak
diperlukan. (5) Menunjukkan konsistensi dalam menegakkan aturan kelas. Siswa
lebih mungkin memberikan tanggapan positif terhadap guru jika mereka
mempersepsinya sebagai orang yang dapat diandalkan. (6) Memberikan penguatan
positif terhadap individu siswa yang mematuhi aturan kelas. Siswa pada umumnya
memberikan tanggapan yang baik terhadap pujian dan dorongan dan akan merasa
nyaman jika kerjasamanya diakui. (7) Memberi penguatan positif terhadap kelas
jika sesuai dengan aturan sekolah atau kelas. Siswa cenderung menganggap diri
mereka sebagai anggota kelompok yang kohesif, dan rasa kebersamaan ini menguat
jika perilaku kerjasama mereka diberi imbalan kelompok.
Kategori keempat,
mengatasi perilaku menyimpang siswa. Betapapun efektifnya guru dalam membentuk
struktur lingkungan belajar yang positif, namun perilaku siswa yang tak pantas
atau menyimpang masih mungkin terjadi setiap saat. Dalam situasi itu, adalah
penting bagi guru untuk selalu menjaga sikap positif terhadap pengelolaan kelas.
Siswa harus menyadari bahwa guru proaktif dalam membentuk perilaku yang
diterima dan tidak hanya menunggu bereaksi terhadap tanda-tanda perilaku yang
menyimpang. Untuk itu disarankan agar guru: (1) Jika mendisplinkan siswa,
menfokuskan pada perilaku menyimpang itu sendiri dan bukan pada faktor-faktor
pribadi yang mungkin melandasi perilaku yang tak pantas tersebut. Siswa akan
memberikan tanggapan positif kepada guru yang tidak melukai atribut-atribut
pribadi mereka. (2) Menjelaskan aspek negatif dari perilaku menyimpang. Siswa
pada umumnya memberikan tanggapan positif terhadap saran-saran perubahan jika
mereka memahami konsekuensi dari penyimpangan. (3) Mengabaikan perilaku mencari
perhatian kecil-kecilan yang dilakukan siswa. Kritik guru atau perhatian yang
tidak tepat biasanya hanya memperkuat jenis perilaku menyimpnag seperti ini.
(4) Tetap rasional dalam menghadapi perilaku menyimpang siswa. Siswa
menghormati guru yang menggunakan alasan-alasan atau pembatasan-pembatasan yang
masuk akal dalam mengelola kelas. (5) Jangan mengancam siswa dengan hukuman.
Siswa tidak memberikan tanggapan positif terhadap intimidasi dan mereka sangat
kritis terhadap ancaman yang tidak dingatkan sebelumnya atau yang tidak
dilaksanakan sesudahnya. (6) Jangan sesekali melukai perasaan atau mengasari
siswa. Siswa memberikan tanggapan negatif terhadap sarkasme, ironi, dan
kekasaran dan sering memberikan reaksi terhadap pernyataan yang melecehkan
dengan cara menolak bekerjasama dalam tugas-tugas sekolah. (7) Berusaha
mengelola perilaku menyimpang yang gawat dengan cara melakukan pertemuan atau
konseling pribadi. Sebagian besar masalah siswa bisa dipecahkan melalui
konseling, terutama jika dilaksanakan secara terpisah dari
ketegangan-ketegangan yang terdapat dalam kelas. (8) Hindari penggunaan
prosedur-prosedur korektif yang menghukum. Walaupun sebagian siswa memberi
tanggapan terhadap prosedur assertive namun ada alasan etis dan legal
untuk menghindari praktek tersebut. (9) Minta bantuan dari guru yang
berpengelaman jika konflik tidak bisa dipecahkan dengan menggunakan prosedur
pengelolaan yang biasa. Guru yang berpengalaman bisa sangat membantu memecahkan
masalah yang lebih serius dalam pengelolaan kelas. (10) Bekerjasama dengan
kepala sekolah, orangtua, dan guru BP dalam memberikan program alternatif
jangka pendek untuk siswa yang bermasalah dalam mengikuti kebiasaan sekolah.
Sebagian siswa, karena berbagai kesulitan di luar sekolah, sebaiknya
ditempatkan dalam program alternatif jangka pendek sebagai periode penyesuaian
dalam waktu singkat.
Berdasarkan
uraian-uraian di atas dapatlah ditarik sintesis bahwa pada dasarnya
kedisiplinan tidak bisa dipisahkan dengan pembelajaran, dan keduanya merupakan
wilayah garapan dari pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas itu sendiri
membutuhkan kemampuan organisasional dari pihak guru. Dengan demikian guru yang
memiliki kemampuan organisasional yang bagus, mampu mengelola kelas sedemikian
rupa sehingga pembelajaran sehari-hari bisa dilaksanakan secara berdisplin,
atau kedisiplinan bisa dilaksanakan sebagai bagian dari proses pembelajaran
sehari-hari.
Dengan
demikian, maka pelaksanaan kedisiplinan yang efektif oleh guru harus sejalan
dengan pelaksanaan pembelajaran yang efektif pula, melalui penerapan
prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang berhasil. Prinsip-prinsip pengelolaan
kelas yang berhasil ialah yang didasarkan pada peningkatan lingkungan kelas
positif, penetapan aturan-aturan kelas, dan penggunaan prosedur-prosedur yang
efektif untuk mengatasi siswa yang bermasalah.
3. Perhatian Orangtua
Masalah
perhatian orangtua dan komunitas dalam sekolah anak telah lama menjadi
perhatian para peneliti pendidikan. Sejak 30 tahun terakhir, menurut Fullan,
telah ratusan hasil kajian diterbitkan berupa buku atau artikel yang membahas
masalah ini. Walaupun di antara hasil kajian ada yang kontradiktif,
membingungkan, dan susah dipahami, namun menurut Fullan selanjutnya, ada sebuah
benang merah yang bisa ditarik secara tegas dari hasil-hasil kajian tersebut
bahwa: “the closer the parents to the education of the child, the greater
the impact on child development and educational achievement. Yakni, semakin
dekat orangtua dengan pendidikan anak, semakin besar pengaruhnya terhadap
perkembangan anak dan prestasi akademik mereka.
Setidak-tidaknya
ada tiga pendekatan yang digunakan untuk memahami pengaruh orangtua terhadap
prestasi anak-anaknya di sekolah. Yang pertama faktor kelas sosial orangtua,
yang kedua faktor perilaku orangtua dalam menyediakan lingkungan yang mendukung
pengembangan intelektualitas dan emosional anak, dan yang ketiga faktor
keterlibatan orangtua dengan sekolah anak.
Tentang
faktor kelas sosial orangtua, Rosen mencatat bahwa kelas sosial bertanggungjwab
terhadap sebagian besar perbedaan motivasi berprestasi siswa antar
kelompok-kelompok etnis. Yakni, jika kelas sosial sama maka perbedaan antar
kelompok etnis cenderung lenyap. Bukti-bukti lain juga menunjukkan bahwa
rumahtangga kelas menengah dengan keluarga kecil menghasilkan anak-anak yang
berorientasi prestasi tinggi.
Uraian
yang lebih mendetail mengenai pengaruh kelas sosial orangtua terhadap prestasi
sekolah anak di sekolah dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan Newson dkk
dalam karya mereka Perspectives on School at Seven Years Old.
Sebagaimana dikutip Robinson, Newson dkk melakukan kajian mengenai pengaruh
status sosial ekonomi orangtua terhadap pendidikan anak-anak di sekolah dengan
menggunakan dua pengukuran. Pertama, melalui indeks perhatian kultural
secara umum yang berisi hal-hal seperti apakah orang tua mengeluarkan uang
untuk pelajaran-pelajaran ekstra anak mereka, apakah mereka mengajak anak-anak
mereka, misalnya ke bioskop, teater, museum, kebun bintang, dan pertandingan
sepakbola. Kedua, melalui indeks keselarasan antara rumah dan sekolah,
yang mencakup hal-hal seperti apakah anak-anak membawa barang ke sekolah untuk
diperlihatkan pada gurunya, apakah si anak bertanya tentang hal-hal yang
didengarnya di kelas, dan apakah orang tua berusaha membantu pekerjaan
sekolahnya.
Melalui
kedua indeks ini Newson dkk mengukur perhatian orang tua terhadap sekolah anak
berdasarkan golongan sosial keluarga, mulai dari golongan profesional tingkat
atas dan tingkat terendah sampai pada golongan pekerja kasar tanpa ketrampilan.
Secara ringkas, kedua indeks tersebut menunjukkan kecendrungan bahwa: Semakin
rendah golongan sosial keluarga maka: (1) semakin sempit dan terbatas lingkup
perhatian kultural yang dialami anak-anak sebagai anggota kelompok keluarga;
(2) semakin jauh minat anak-anak mereka dari topik-topik sekolah; (3) semakin
tidak berminat orang tua menanggapi pertanyaan-pertanyaan anak dari sumber
apapun dan dengan cara bagaimanapun; (4) semakin kecil kemungkinan orang tua
menggunakan buku atau surat kabar sebagai pendorong pengetahuan anak, dan
bahkan (5) semakin besar kemungkinan orangtua menyembunyikan kebodohan mereka
terhadap anak; (6) semakin kecil kemungkinan anak mendapat bantuan, baik secara
langsung maupun secara tak langsung melalui suasana rumah yang ramah, dalam
pekerjaan sekolah anak di luar membaca.
Faktor
perilaku orangtua dalam menyediakan lingkungan di dalam rumah tangga yang
mendukung pengembangan intelektual anak telah dikaji oleh Wolf. Wolf, sebagaimana dikutip Gage &
Berlinger, mengidentifikasi ranah-ranah lingkungan yang penting yang mencakup:
(1) Penekanan orangtua terhadap motivasi berprestasi dalam bentuk
harapan-harapan intelektual terhadap anak-anaknya, aspirasi mereka terhadap
anak-anaknya, jumlah informasi yang dimiliki tentang perkembangan intelektual
anak-anaknya, dan berbagai jenis hadiah yang diberikan untuk perkembangan
intelektual anaknya. (2) Penekanan orangtua terhadap perkembangan bahasa, yang
mencakup penekanan menggunakan bahasa dalam berbagai situasi, menyediakan
kesempatan untuk memperluas kosa kata anak-anak, menekankan kebenaran
penggunaan bahasa, dan kualitas model bahasa ortangtua yang disediakan untuk
anak-anak. (3) Pemberian orangtua terhadap peluang-peluang belajar di rumah dan
di luar rumah (termasuk sekolah) dengan menyediakan perlengkapan belajar,
buku-buku (termasuk karya-karya referensi), terbitan berkala, dan fasilitas
perpustakaan, dan berbagai fasilitas belajar lainnya dalam berbagai situasi.
Wolf
menandai ranah-ranah dalam lingkungan rumahtangga selama 90 menit, 69
pertanyaan wawancara dengan ibu (atau kadangkala dengan kedua orangtua) dari 60
siswa kelas lima yang mewakili beberapa jenjang kelas sosial dalam komunitas
kota menengah Midwestern. Pengukuran tersebut berkaitan dengan 13 variabel,
ketika ditambahkan bersama dengan timbangan yang sesuai, berkorelasi 0,76
dengan IQ siswa. Namun tingginya koefisien ini mungkin tidak mencerminkan
hubungan sebab akibat. Ia mungkin berasal dari pengaruh kecerdasan umum
orangtua sekaligus pengaruh lingkungan nilai-nilai dan perilaku orangtua. Namun
korelasi antara IQ orangtua dengan IQ anak tetap hanya sekitar 0,5. Jadi Wolf
menyingkapkan sebagian dari proses lingkungan melalui mana kecerdasan ortangtua
bekerja. Artinya perilaku orangtua yang terkait dengan pengembangan
intelektualitas anak, dan bukan kecerdasan orangtua itu sendiri, yang lebih berpengaruh
terhadap prestasi akademik anak di sekolah.
Menurut
Gage & Berliner, perilaku orangtua yang terkait dengan prestasi intelektual
siswa bisa berperan sebagai panduan bagi guru. Apakah perilaku ini berhubungan
sebab-akibat atau tidak dengan perkembangan intelektual anak masih menjadi
persoalan. Yang pasti, sebagian lingkungan rumahtangga yang menguntungkan ialah
kecerdasan orangtua sendiri, yang bisa mempengaruhi gaya hidup maupun warisan
kecerdasan anak-anak mereka. Variabel rumah tangga yang menimbulkan perbedaan
dalam prestasi intelektual anak-anak ialah yang memantulkan kekuatan
intelektual yang bekerja di dalam interaksi orangtua dengan anak-anak, seperti
percakapan, membaca, buku-buku dan bahan-bahan lain yang tersedia, model
perilaku, dan nilai-nilai orangtua. Ringkasnya, “intelektualitas” rumahtangga
bisa dirating dengan berbagai cara, dan secara substansial ia berkorelasi lebih
tinggi dengan prestasi intelektual anak-anak daripada kelas sosial dan IQ
orangtua.
Selain
unsur intelektualitas, unsur emosional di rumah tangga juga penting untuk
prestasi anak di sekolah. Sehubungan dengan ini, menurut Wannoy, dalam karyanya
10 Anuegrah Terindah untuk Ananda, pendidikan yang efektif dalam
keluarga hanya terjadi jika orang tua “mengasuh anak dengan hati.” Sedangkan
mengasuh dengan hati tersebut dilakukan melalui lima sarana sebagai berikut:
(1) Fokus kedepan pada hal-hal yang berjalan dengan baik, pada keberhasilan,
kebahagiaan, dan antisipasi keluarga menghadapi hal-hal yang baik, dan pada
pengetahuan bahwa orang tua mampu memecahkan masalah yang timbul. (2)
Mendengarkan pikiran, perasaan, dan cerita anak dengan penuh perhatian. (3)
Mengajarkan melalui penemuan, membiarkan anak belajar dengan caranya sendiri.
(4) Memberikan pesan-pesan yang memberdayakan: menemukan perbuatan anak yang
baik, mengakui, dan merayakan perilaku yang sekecil apapun, yang merupakan
keseluruhan visi orang tua terhadap anak. (5) Memberi
teladan tentang nilai diri sendiri, tentang pemilihan fokus diri sendiri secara
sadar, dan tentang sumbangan diri sendiri terhadap keluarga dan dunia.
Mengenai
faktor keterlibatan orangtua dengan sekolah anak, Epstein yang melaksankan
penelitian sistematik selama dasawarsa sebelumnya terhadap interaksi orangtua
dan sekolah menyatakan:
Ada bukti yang konsisten bahwa dorongan, aktivitas, minat
orangtua di rumah dan partisipasi mereka di sekolah mempengaruhi prestasi
anak-anaknya, bahkan setelah mengontrol kemampuan siswa dan latar belakang
status sosial ekonominya. Siswa mencapai perkembangan pribadi dan akademik jika
keluarganya menekankan sekolah, membiarkan anak-anaknya mengetahu apa pekerjaan
mereka, dan melakukan hal itu secara terus-menerus di sepanjang tahun.
Menurut
Epstein & Dauber bentuk-bentuk keterlibatan orangtua dengan sekolah anak
meliputi: (1) keterlibatan orangtua di sekolah (misalnya, menjadi relawan,
asisten), (2) keterlibatan orangtua dalam aktivitas belajar di rumah (misalnya,
membantu anak di rumah, tutor di rumah), (3) hubungan rumah/komunitas dengan
sekolah (misalnya, komunikasi), (4) pengaturan (misalnya, dewan sekolah). Dua
bentuk keterlibatan pertama berkaitan langsung dengan pembelajaran sedangkan
dua yang terakhir berkaitan secara tak langsung dengan penbelajaran. Bentuk
keketerlibatan yang bekaitan langsung dengan pembelajaran menimbulkan pengaruh
yang lebih besar pada belajar anak dibandingkan dengan dua bentuk keterlibatan
lainnya.
Persoalannya
tidak semua orangtua berminat terhadap tugas sekolah anak-anaknya dan tidak
pula semua guru dan sekolah yang berusaha mendorong keterlibatan orangtua.
Padahal dalam kajian Mortimore terhadap sekolah efektif, praktek-praktek
keterlibatan orangtua termasuk diantara 12 faktor kunci yang membedakan sekolah
efektif dengan sekolah tak efektif.
Temuan-temuan kami menunjukkan bahwa keterlibatan
orangtua dalam kehidupan sekolah anak berpengaruh positif terhadap kemajuan dan
perkembangan anak-anak. Keterlibatan ini mencakup bantuan di dalam kelas,
kunjungan pendidikan, dan mengikuti rapat yag membahas kemajuan anak-anak.
Akses langsung kepala sekolah dengan orangtua juga penting: sekolah-sekolah
yang menjalankan kebijakan informal pintu terbuka ternyata lebih efektif.
Keterlibatan orangtua dalam perkembngan pendidikan siswa di rumah juga
bermanfaat. Orangtua yang membaca untuk anak-anaknya, mendengarkan mereka
membaca, dan memberi mereka akses terhadap buku-buku di rumah, menimbulkan
pengaruh positif terhadap belajar anak-anaknya.
Juga
penting dicatat bahwa praktek-praktek keterlibatan orangtua dengan sekolah anak
ternyata juga berhasil terhadap orangtua berpendidikan rendah dan anak-anak
berkemampuan kurang, yang membedakan justru sikap dari sekolah itu sendiri.
Johnson, Brookover & Farrel meneliti korelasi antara persepsi kepala
sekolah, guru, dan siswa terhadap harapan orangtua dan keterlibatan orangtua
dengan “perasaan putus-asa akademik’ yang didefinisikan sebagai persaaan siswa
bahwa mereka tidak mampu mencapai keberhasilan dalam sistem sosial sekolah,
atau perasaan takberdaya. Mereka menguji tiga kelompok sampel siswa kelas empat
dan lima di Michigan: sampel campuran, sampel mayoritas kulit putih, dan sampel
mayoritas kulit hitam.
Johnson
dkk menemukan, sesuai dengan dugaan, bahwa persepsi terhadap rendahnya harapan
orangtua atas anak-anaknya sangat berhubungan erat dengan perasaan putus-asa
akademik siswa. Namun mereka juga menemukan perbedaan penting di antara
kelompok. Untuk sampel campuran dan mayoritas kulit putih, “persepsi kepala
sekolah dan guru terhadap minat dan harapan orangtua atas anak-anaknya tidak
berpengaruh besar terhadap perasaan takberdaya anak-anak. Sedangkan “pada
sampel mayoritas kulit hitam, persepsi kepala sekolah dan guru terhadap minat
dan harapan orangtua atas anak-anaknya menjelaskan sebagian besar varians di
dalam perasaan takberdaya anak-anak. Dengan kata lain, bagi sampel campuran dan
sampel mayoritas kulit putih persepsi siswa terhadap harapan orangtua merupakan
pengaruh kunci, sedangkan sampel mayoritas kulit hitam persepsi siswa terhadap
harapan orangtua merupakan faktor yang menentukan, terhadap perasaan tak berdaya
anak dalam prestasi akademik.
Untuk
mengefektifkan keterlibatan orangtua dengan sekolah anak, Fullan menyarankan
sejumlah hal yang harus dilakukan orangtua: (1) Memilih sekolah dengan
memeriksa sejarah dan sikap setiap sekolah terhadap keterlibatan orangtua dan
komunitas. (2) Memberi tanggapan dan melibatkan diri terhadap sekolah yang
kepala sekolah dan guru-gurunya proaktif melibatkan orangtua dalam materi
pembelajaran. (3) Memahami pekerjaan guru yang penuh tekanan, mungkin dari
kepala sekolah, yayasan, pemerintah, atau berbagai program lainnya sehingga
orangtua tidak perlu merasa ditolak oleh sebagian guru yang kurang responsif.
(4) Membiasakan diri dengan kurikulum yang digunakan siswa melalui buku atau
diskusi. (5) Bertanya kepada guru mengenai apa yang seharusnya dilakukan di
rumah untuk membantu anak belajar. (6) Menyadari bahwa untuk memahami kurikulum
atau perubahan program di sekolah diperlukan waktu dan interaksi. (7) Berusaha
mempejari berbagai aktivitas yang berkaitan dengan anak agar bisa saling
melengkapi dengan sekolah dalam mendidik anak. (8) Memperjuangkan hak, baik
sendiri maupun bersama orangtua lain, dalam menghadapi prasangka,
ketakpedulian, apalagi penolakan sekolah untuk bekerjasa dengan orangtua.
Berdasarkan
uraian di atas tampaklah bahwa faktor status sosial ekonomi orangtua, faktor
perilaku orangtua dalam pengembangan intelektualitas dan emosional anak, dan
faktor keterlibatan orangtua dengan sekolah anak, semuanya berpengaruh terhadap
prestasi anak di sekolah. Namun penelitian-penelitian empirik yang telah
dikemukakan di atas menunjukkan, bahwa faktor status sosial ekonomi orangtua
lebih kecil dibandingkan pengaruh perilaku orangtua. Perilaku orangtua dalam
pengembangan intelektualitas dan emosional anak, apapun latar belakang status
sosial ekonominya, lebih beperngaruh terhadap prestasi akademik di sekolah.
Namun penelitian empirik yang diuraikan di atas juga menunjukkan bahwa
keterlibatan orangtua dengan pendidikan anak di sekolah juga lebih besar
pengaruhnya terhadap prestasi akademik anak di sekolah, terlepas dari status
sosial ekonomi orangtua mereka dan taraf kecerdasan orangtua.
Perhatian
orangtua terhadap pendidikan anak tampak dalam keterlibatan orangtua dengan
sekolah anak. Dengan demikian perhatian orangtua diukur dari keterlibatan
orangtua dengan sekolah anak, baik yang berkaitan langsung dengan pembelajaran
maupu yang tidak berkaitan langsung dengan pembelajara. Keterlibatan yang
berkaitan langsung dengan pembelajaran anak mencakup penyediaan
sarana/prasasarana belajar, menciptakan suasana belajar yang nyaman di rumah,
memeriksa kemajuan belajar anak, pembahasan masalah-masalah sekolah dengan
anak, mengunjungi sekolah dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan sekolah yang
melibatkan anak secara langsung, serta bekerjasama dengan guru mermbantu
memecahkan kesulitan belajar anak. Sedangkan keterlibatan yang tidak berkaitan
langsung dengan pembelajaran mencakup kerterlibatan orangtua dalam pendanaan
sekolah, keikutsertaan dalam organisasi orangtua siswa, dan keikutsertaan dalam
rapat-rapat sekolah dan rapat-rapat organisasi orangtua siswa.
B. Kerangka
Berpikir
1. Hubungan kedisiplinan guru dengan hasil
belajar siswa
Prestasi belajar merupakan tingkat keberhasilan yang
dicapai seseorang dalam proses belajar dengan jangka waktu tertentu.
Keberhasilan belajar itu berwujud perubahan-perubahan yang terukur dalam
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Nilai berupa angka atau huruf yang
diperoleh dari tes prestasi belajar pada akhir catur wulan, semester, atau masa
pendidikan, merupakan simbol dari hasil belajar siswa. Seorang siswa mencapai
prestasi belajar apabila sekurang-kurangnya memperoleh skor atau nilai yang
menunjukkan penguasaan 60% dari pelajarannya.
Kedisiplinan
tidak bisa dipisahkan dengan pembelajaran, dan keduanya merupakan wilayah
garapan dari pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas itu sendiri membutuhkan kemampuan
organisasional dari pihak guru. Dengan demikian guru yang memiliki kemampuan
organisasional yang bagus, mampu mengelola kelas sedemikian rupa sehingga
pembelajaran sehari-hari bisa dilaksanakan secara berdisiplin, atau
kedisiplinan bisa dilaksanakan sebagai bagian dari proses pembelajaran
sehari-hari.
Pelaksanaan
kedisiplinan yang efektif oleh guru harus sejalan dengan pelaksanaan pembelajaran
yang efektif pula, melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang
berhasil. Prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang berhasil ialah yang didasarkan
pada peningkatan lingkungan kelas positif, penetapan aturan-aturan kelas, dan
penggunaan prosedur-prosedur yang efektif untuk mengatasi siswa yang
bermasalah.
Jika kedispilinan
sudah menyatu dengan pembelajaran sehari-hari, dalam arti terciptanya
lingkungan belajar yang positif, terbentuknya aturan kelas, dan tersedianya
prosedur untuk mengatasi siswa bermasalah, maka terciptalah prakondisi bagi
siswa untuk belajar dengan teratur sehingga dimungkinkan tercapainya prestasi
belajar yang baik. Dengan demikian diduga kemampuan guru mendisiplinkan kelas
berhubungan positif dengan prestasi belajar siswa.
2. Hubungan perhatian orangtua dengan hasil
belajar siswa
Perhatian
orangtua ialah keterlibatan orangtua dengan sekolah anak, ada yang berkaitan
langsung dengan pembelajaran anak dan yang tidak berkaitan langsung dengan
pembelajaran anak. Keterlibatan yang berkaitan langsung dengan pembelajaran
anak mencakup penyediaan sarana/prasasarana belajar, menciptakan suasana
belajar yang nyaman di rumah, memeriksa kemajuan belajar anak, pembahasan
masalah-masalah sekolah dengan anak, mengunjungi sekolah dalam kaitannya dengan
kegiatan-kegiatan sekolah yang melibatkan anak secara langsung, serta
bekerjasama dengan guru mermbantu memecahkan kesulitan anak belajar anak.
Sedangkan
kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan pembelajaran mencakup
kerterlibatan orangtua dalam pendanaan sekolah, keikutsertaan dalam organisasi
orangtua siswa, dan keikutsertaan dalam rapat-rapat sekolah dan rapat-rapat
organisasi orangtua siswa.
Perhatian orangtua
terhadap pendidikan ditunjukkan dengan keterlibat langsung atau tidak langsung
dengan pembelajaran anak di sekolah. Semakin besar perhatian orangtua terhadap
pendidikan anaknya semakin mungkin bagi anaknya mencapai prestasi yang baik di
sekolah. Dengan demikian diduga perhatian orangtua berhubungan positif dengan
perstasi belajar siswa.
3. Hubungan kedisiplinan guru dan perhatian
orangtua dengan hasil belajar siswa
Sebagaimana
diuraikan di atas, kemampuan guru mendisiplinkan kelas berdampak pada
peningkatan prestasi belajar anak. Demikian juga perhatian orangtua terhadap
pendidkan anak berdampak pada peningkatan perstasi belajar anak. Jika secara
sendiri-sendiri, baik kedisiplinan guru maupun perhatian orangtua berdampak
pada peningkatan prestasi belajar anak, tentu secara bersama-sama dampaknya
lebih besar lagi.
Dengan demikian diduga
secara bersama-sama kemampuan guru mendisiplinkan akan berhubungan positif
dengan prestasi belajar anak.
C. Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan
deskripsi teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir di atas maka
hipotesis yang mau diuji dalam penelitian ini ialah:
1.
Terdpaat
hubungan positif antara kedisiplinan guru dengan prestasi belajar siswa
2.
Terdapat
hubungan positif antara perhatian orangtua dengan prestasi belajar siswa
3.
Terdapat
hubungan positif antara kedisiplinan guru dan perhatian orangtua dengan
prestasi belajar siswa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk
mengumpulkan dan menganalisis data dari lapangan guna memperoleh pemahaman
tentang:
1.
Hubungan kedisiplinan guru dengan prestasi belajar siswa.
2.
Hubungan perhatian orangtua dengan prestasi belajar
siswa.
3.
Hubungan kedisiplinan guru dan perhatian orangtua dengan
prestasi belajar siswa.
B. Tempat dan Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan Sekolah
Menengah Atas Negeri 83 Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil
tahun ajaran 2011. Penelitian berlangsung selama 3 bulan, yaitu pada
bulan Juli, Agustus, dan September, sejak persiapan, kalibrasi instrumen, pengurusan
izin, penyebaran angket, enteri data, analisis data sampai penulisan laporan.
C. Metode
Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian adalah survei dengan teknik korelasional. Data primer penelitian
diperoleh melalui angket, selanjutnya data yang diperoleh dianalisis untuk
mengetahui korelasi antara variabel terikat dengan variabel bebas. Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah prestasi belajar siswa (Y), sedangkan
variabel bebasnya kedisiplinan guru (X1) dan perhatian orangtua (X2).
Konstelasi variabel bebas dengan variabel terikat dapat digambarkan sebagai
berikut:
Keterangan:
Y = Prestasi
belajar siswa
X1 = Kedisiplinan guru
X2 = Perhatian orangtua
ry1 =
Koefisien korelasi sederhana
antara kedisiplinan guru dengan hasil belajar siswa
ry2 =
Koefisien korelasi sederhana
antara perhatian orangtua dengan hasil belajar siswa
Ry.12 = Koefisien korelasi ganda antara kedispilinan
guru dan perhatian orangtua dengan hasil belajar siswa.
D. Populasi dan
Teknik Pengambilan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Mennegah Atas Negeri
83 Jakarta. Sedangkan populasi terjangkau adalah siswa Sekolah Menengah
Atas Negeri 83 pada tahun pelajaran 2011 di jalan Tipar
Cakung, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan
sampel dilakukan secara acak proporsional seluruh siswa Ssekolah Menengah
Atas Negeri 83 Jakarta Utara . Pemilihan sampel pada setiap subpopulasi dilakukan
melalui pengundian berdasarkan daftar nama yang tersedia.
Perlu dinyatakan bahwa dalam proses tidak semua siswa yang tercabut dalam
undian bersedia menjadi responden karena berbagai alasan, sehingga pada
akhirnya jumlah responden persubpopulasi (yakni perkelas) tidak selalu sesuai
dengan proporsi yang telah disiapkan, namun tetap diangap masih mewakili
seluruh sekolah yang ada. Pada akhir proses pemilian sampel kami mendapatkan
125 siswa dengan jumlah yang bervariasi dari kelas-kelas yang ada .
E. Teknik
Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data penelitian disusun berdasarkan definisi
konseptual, definisi operasional, dan kisi-kisi setiap variabel. Draft
instrumen dikonsultasikan pada pembimbing untuk menjamin validitas isinya.
Selanjutnya dilakukan kalibrasi instrumen dengan mengujicobakannya kepada
sampel yang bukan sampel penelitian guna menguji validitas dan reliabilitasnya.
1. Instrumen Tes
Prestasi Belajar
a. Definisi Konspetual
Secara konseptual prestasi belajar merupakan tingkat keberhasilan yang
dicapai siswa dalam proses belajar dalam jangka waktu tertentu yang berwujud
perubahan-perubahan yang terukur dalam pengetahuan (ranah kognitif), sikap
(ranah afektif), dan ketrampilan (ranah psikomotorik).
b. Definisi Operasional
Sedangkan secara operasional yang dimaksud dengan prestasi belajar dalam
penelitian ialah skor yang diperoleh siswa dari general test yang diujikan pada
mereka. General test memuat dimensi-dimensi pelajaran yang sesuai.
c. Kisi-kisi
Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Tes Prestasi Belajar
Dimensi
|
Indikator
|
Nomor
Butir
|
Bahasa Indonesia
|
||
Tes
dibuat dalam bentuk soal dengan jawaban pilihan ganda yang terdiri empat opsi
jawaban dimana hanya satu jawaban yang benar. Jawaban yang
benar diberi skor 1 sedangkan jawaban yang salah diberi skor 0.
a. Kalibrasi
Ujicoba instrumen dilakuan terhadap sampel 30 siswa Sekolah Menengah
Atas Negeri 83 Jakarta Utara yang bukan sampel penelitian. Hasilnya dianalisis dengan
korelasi poin biserial untuk menguji validitas butirnya, dan rumus KR 20 untuk
menghitung reliabilitasnya. Pengujian validitas terhadap 39 butir instrumen
prestasi belajar ternyata enam butir tidak valid karena r hitungnya lebih kecil
dari r tabel 0,349, yaitu butir 9, 11, 19, 27, 30, 36. Setelah membuang keenam
butir yang tidak valid, dilakukan pengujian validitas ulang terhadap 33 butir
yang sisanya, dengan hasil semua butir tersebut valid. Perhitungan reliabilitas
terhadap semua yang valid menghasilkan koefisien reliabilitas 0,907.
Berdasarkan hasil kalibrasi ini, maka instrumen tes
prestasi belajar siswa diukur dengan 33 butir soal tanpa menyertakan butir 9,
11, 19, 27, 30, 36. Membuang keenam butir ini tidak mengurangi validitas
konten, karena semua dimensi pengukuran tetap terwakili dengan 33 butir yang
valid. Dengan skor butir 0 untuk jawaban yang salah dan 1 untuk jawaban yang
benar, maka rentang skor teoretik prestasi belajar siswa berkisar antara 0 –
33, dimana 0 adalah kemungkinan skor terendah dan 33 kemungkinan skor
tertinggi.
2. Angket
Kedisiplinan Guru
a. Definisi Konseptual
Secara konseptual yang dimaksud dengan kedisiplinan guru kemampuan guru
melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang didasarkan pada peningkatan
lingkungan kelas positif, penetapan aturan-aturan kelas, dan penggunaan
prosedur-prosedur yang efektif untuk mengatasi siswa yang bermasalah. Semakin
dekat skor ke 0 berarti semakin rendah prestasi belajar siswa, semakin ke 33
berrarti semakin tinggi prestasi belajarnya.
b. Definisi Operasional
Secara operasional yang dimaksud dengan kedisiplinan guru dalam penelitian
ini ialah skor yang diberikan siswa terhadap angket kedisiplinan guru yang
mengukur lingkungan kelas positif, penetapan aturan-aturan kelas, dan
penggunaan prosedur-prosedur yang efektif untuk mengatasi siswa yang
bermasalah.
c. Kisi-kisi
Tabel 5.
Kisi-kisi Instrumen Kedisiplinan Guru
Dimensi
|
Indikator
|
Butir
|
1.
Sikap dalam mengelola kelas
|
a)
Hubungan positif dengan siswa
|
1, 25*
|
b)
Pandangan positif terhadap siswa
|
2, 26*
|
|
c)
Pendekatan yang percaya diri dan optimistik dalam
pengelolaan kelas
|
3, 27*
|
|
2.
Memaju-kan lingkungan kelas
yang positif
|
a) Mengutamakan pencegahan daripada pengendalian
|
4, 28*
|
b)
Memperkecil peluang
kegaduhan dan kelambatan
|
5, 29*
|
|
c)
Komtimen yang kuat terhadap
kebiasaan belajar teratur
|
6, 30*
|
|
d)
Mengubah prosedur kelas yang menyebabkan
kegaduhan atau kegalauan
|
7, 31*
|
|
3.
Menetap-kan tata tertib kelas
|
a)
Membentuk kebiasaan
pengelolaan sejak dini
|
8, 32*
|
b)
Mengupayakan partisipasi
siswa dalam menegakkan tata tertib kelas
|
9, 33*
|
|
c)
Menjelaskan alasan setiap tata tertib
|
10, 34*
|
|
d)
Mempersedikit dan
menyederhanakan tata tertib
|
11, 35*
|
|
e)
Konsisten menegakkan tata
tertib kelas
|
12, 36*
|
|
f)
Memberi penguatan positif terhadap individu
|
13, 37*
|
|
g)
Memberi penguatan positif terhadap kelas
|
14, 38*
|
|
4.
Mengatasi siswa yang bermasalah
|
a)
Fokus pada perilaku
menyimpang itu sendiri
|
15, 39*
|
b)
Menjelaskan sisi negatif
perilaku menyimpang
|
16, 40*
|
|
c)
Mengabaikan perilaku mencari perhatian
|
17, 41*
|
|
d)
Rasional menghadapi perilaku menyimpang
|
18, 42*
|
|
e)
Tidak mengancam dengan hukuman
|
19, 43*
|
|
f)
Tidak melukai perasaan
|
20, 44*
|
|
g)
Mengadakan pertemuan atau konseling pribadi untuk
penyimpangan yang gawat
|
21, 45*
|
|
h)
Menghindari prosedur-prosedur korektif yang
menghukum
|
22, 46*
|
|
i)
Minta bantuan guru yang berpengelaman jika
prosedur pengelolaan yang biasa tidak berhasil
|
23, 47*
|
|
j)
Bekerjasama dengan kepala sekolah, orangtua, dan
guru BP
|
24, 48*
|
|
Jumlah butir
|
48
|
|
*Butir negatif
|
Instrumen
dibuat dalam bentuk rating pendapat murid tentang seberapa sering
indikator-indikator kedisiplinan tampak dalam perilaku guru mengelola kelas
dengan lima
pilihan jawaban: SL = Selalu, S = Sering, J = Jarang, JS = Jarang Sekali, TP =
Tidak Pernah. Untuk pernyataan positif skornya ialah SL = 5, S = 4, J = 3, JS =
2, dan TP = 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif skornya SL = 1, S = 2, J = 3,
JS = 4, dan TP = 5.
d. Kalibrasi
Hasil
ujicoba instrumen dianalisis dengan korelasi produk momen untuk menguji
validitas butirnya, dan rumus Alpha Cronbach untuk menghitung reliabilitasnya. Pengujian
validitas terhadap 48 butir angket, ternyata ditemukan lima butir tidak valid karena r hitungnya
lebih kecil dari r tabel 0,349, yaitu butir 4, 7, 17, 28, 29. Setelah membuang
kelima butir yang tidak valid, dilakukan pengujian validitas ulang terhadap
sisa 43 butir yang valid, dengan hasil semuanya memang valid. Perhitungan
reliabilitas terhadap butir valid menghasilkan koefisien reliabilitas 0,876.
Dengan
demikian, angket kedisiplinan guru menggunakan 43 butir tanpa menyertakan butir
4, 7, 17, 28, 29. Dengan askor butir 1 – 5, maka rentang skor teoretik
kedisiplinan guru berkisar antara 43 – 215 dimana 43 adalah kemungkinan skor
terendah dan 215 adalah kemungkinan skor tertinggi. Semakin dekat skor ke 43
berarti semakin rendah kedisiplinan guru di mata siswa, dan semakin dekat skor
ke 215 berrarti semakin tinggi kedisiplinan guru di mata siswa.
3. Angket Perhatian
Orangtua
a. Definisi Konseptual
Secara konseptual yang
dimaksud dengan perhatian orangtua keterlibatan orangtua dengan sekolah anak,
baik berkaitan langsung dengan pembelajaran anak dan maupun tidak berkaitan
langsung dengan pembelajaran anak.
b. Definisi Operasional
Secara operasional yang
dimaksud dengan perhatian orangtua ialah skor yang diberikan siswa terhadap
angket yang beirisi penilaian terhadap kerterlibatan orangtua secara langsung
dan tidak langsung terhadap pembelajaran anak. Kisi-kisi sebagai
berikut:
c. Kisi-kisi
Tabel 6.
Kisi-kisi Instrumen Perhatian Orangtua
Dimensi
|
Indikator
|
Butir
|
1.
Perhatian yang berkaitan
langsung dengan pembelajaran anak
|
a)
Menyediakan alat belajar
|
1, 10, 19, 28*
|
b)
Membantu menyelesaikan pekerjaan rumah
|
2, 11, 20, 29*
|
|
c)
Membahas masalah belajar
dengan anak
|
3, 12, 21, 30*
|
|
d)
Membahas masalah belajar
anak dengan guru
|
4, 13, 22, 31*
|
|
e)
Menghadiri acara sekolah
yang melibatkan anak
|
5, 14, 23, 32*
|
|
2.
Perhatian yang berkaitan
secara tidak langsung dengan pembelajar-an anak
|
a)
Menciptakan suasana rumah
kondusif bagi anak
|
6, 15, 24, 33*
|
b)
Mengontrol pergaulan anak
|
7, 16, 25, 34*
|
|
c)
Memelihara kontak dengan
pihak sekolah
|
8, 17, 26, 35*
|
|
d)
Keterlibatan dalam
organisasi orangtua siswa
|
9, 18, 27, 36*
|
|
Jumlah butir
|
36
|
|
* Butir negatif
|
Instrumen
dibuat dalam bentuk rating pendapat tentang seberapa sering indikator-indikator
perhatian orangtua tampak dalam perilaku orangtuanya sendiri dengan lima pilihan jawaban: SL
= Selalu, S = Sering, J = Jarang, JS= Jarang Sekali, TP = Tidak Pernah. Untuk
pernyataan positif skornya ialah SL = 5, S = 4, J = 3, JS = 2, dan TP = 1. Sedangkan
untuk pernyataan negatif skornya SL = 1, S = 2, J = 3, JS = 4, dan TP = 5. Skor
akhir adalah penjumlahan seluruh skor butir.
d. Kalibrasi
Hasil
ujicoba instrumen dianalisis dengan korelasi produk momen untuk menguji
validitas butirnya, dan rumus Alpha Cronbach untuk menghitung reliabilitasnya. Pengujian
validitas terhadap 36 butir angket perhatian orangtua, ternyata 1 butir tidak
valid, yaitu butir 7, karena r hitungnya lebih kecil dari r tabel 0,249.
Setelah membuang butir yang tidak valid, dilakukan pengujian validitas ulang
dengan hasil 35 butir sisanya valid semua. Perhitungan reliabilitas terhadap
butir yang valid menghasilkan koefisien reliabilitas 0,817.
Dengan
demikian perhatian orangtua diukur dengan angket berisi 35 butir tanpa
menyertakan butir 7. Dengan skor butir 1 – 5, maka rentang skor teoretik
perhatian orangtua berkisar antara 35 – 175 dimana 35 adalah kemungkinan skor
terendah dan 175 kemungkinan skor tertinggi. Semakin dekat skor ke 35 berrarti
semakin rendah perhatian orangtua dalam pandangan siswa, dan semakin dekat skor
ke 175 berarti semakin tinggi perhatian orangbtua di mata siswa.
F. Teknik Analisis
Data
Data
dianalisis dengan statistik deskriptif dan inferensial. Statistik deksriptif
digunakan untuk mengetahui kecendrungan pemusatan data (mean, median, modus),
kecendrungan penyebaran data (rentangan dan simpang baku), serta pembuatan
tabel frekuensi dan histogram data.
Statistik
inferensial digunakan untuk pengujian hipotesis penelitian, yakni menggunakan
teknik korelasi produk momen, sedangkan pengujian signifikansi koefisien
korelasi yang dihasilkannya menggunakan uji t untuk korelasi sederhana dan uji
F untuk korelasi ganda.
Sebelum
pengujian hipotesis dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian prasyarat
statistik, yaitu pengujian normalitas sebaran data dan linearitas korelasi
variabel bebas dengan variabel terikat. Pengujian normalitas menggunakan
analisis statistik Kolmogorov-Smirnov sedangkan pengujian linearitas
menggunakan analisis statistik regresi sederhana.
G. Hipotesis
Statistik Penelitian
Sesuai
dengan hipotesis penelitian yang diajukan, maka hipotesis statistik penelitian
adalah sebagai berikut :
1.
H0
: ρy1
= 0 H1 : ρy1 > 0
2.
H0
: ρy2 = 0 H1 : ρy2 > 0
3.
H0
: ρy.12
= 0 H1 : ρy.12 > 0
Di
mana,
ry1 = Koefisien
korelasi sederhana antara kedisiplinan guru dengan prestasi belajar siswa
ry2 = Koefisien
korelasi sederhana antara perhatian orangtua dengan prestasi belajar siswa
ρy.12 = Koefisien
korelasi ganda antara kedisiplinan guru dan perhatian orangtua dengan prestasi
belajar siswa.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Edisi Revisi, cet 4.
Jakarta: Bumi Aksara.
Azwar, Saifuddin. 2003. Tes Prestasi: Fungsi dan
Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Cet
6. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Cole, PG & Chan, LKS. 2007. Teaching Priciples and
Practices. New York :
Prentice Hall.
Davies, Don. 2006. “The Tent School ”. Principal (Reston , Va ),
Vol 76, November, h 13-14.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2004.
Kurikulum Pendidikan Dasar, Garis-garis Besar Program Pengajaran Sekolah
Mennegah Atas. Jakarta : Proyek Pengembangan Mutu SD, TK dan SLB.
Djamarah,
Saiful B, & Zein, A. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta, h. 121-122.
Doyle, W. 2006. “Classroom Organization and Management”.
Dalam Mewajibkan Wittrock (Ed), Handbook on Research and Teaching. 3rd
Ed. New York :
McMillan.
Epstein, JL & Dauber, SJ. 2008. Teacher Practices
of Parents Involvement in Inner City Eelemntary and Middle Schools. Paper
presented at the American Sociological Association annual meeting.
Epstein, Jl. 2008. “Effects on Student Achievementg of
Teachers’ Practices for Parent Involvement”. Dalam Dalam S Silvern (Ed), Literacy
Through Family, Community, and School Interaction. Greenwich , CT :
JAI Press.
Fullan, M. 2006. The Meaning of Educational Change.
London : Cassell.
Gafur, Abdul.2003.
Disain Instruksional. Jakarta :
BPT IKIP.
Gage, NL
& Berliner ,
DC . 2004. Educational
Psychology. Boston :
Houghton Mifflin Company.
Georgiou, SN. 1998. “Opening
School Doors: Teacher-Parent-Student
Relations in Cyprus ”.
Childhood Education 76(6), International Focus Issue, h 362-366.
Good, T & Brophi, J. 2004. Looking in Classrooms.
6th Ed. New York :
Harper Collins.
Greenleaf, RK. 2000. “Home Connection Program”, High
School Magazine, 7, January, h 18-21. Diakses dari UHAMKA Learning
Resources Center ,
Agustus 2004.
Hamalik, Oemar.
2002. Pengajaran Unit Studi Kurikulum dan Metodologi. Bandung : Alumni.
Hudoyo, Herman .1979. Pengembangan
Kurikulum Bahasa Indonesia dan Pelaksanaan di Depan Kelas. Surabaya : Usaha
Nasional.
Karso, 1993. Dasar-dasar Pendidikan
MIPA. Jakarta : Universitas Terbuka.
Karso, 1993. Proyek Peningkatan Mutu
guru SD serta D-II dan Pendidikan Kependudukan. Jakarta : Depdikbud
Kindsvatter, R & Levine, MA. 2000. “The Myth of
Discipline”. Phi Delta Kappa, 61(10), 690-693.
Kindsvatter, R, Willen, W & Ishler, M. 2006. Dynamic
of Effective Teaching. 3rd Ed. New York : Longman Publisher USA .
Kounin, J. 1970. Discipline and Group Management. New York : Holt, Rineharr
& Winston.
Martinez-Pons, Manuel. 2006. “Test of a Model of Parental
Inducement of Academic Self-Regulation”. The Journal of Experiment
Education, 64, Spring, 213-227.
Mortimore, P, et al. 2008. School Matters: The
Junior Years. Sommerset, UK: Open
Book.
Nasution, S. 2002. Didaktik Dasar-Dasar Mengajar. Bandung: Jenmars, h. 25.
Newson, J, Newson, E, dan Barners, P. 2007. Perspectives
on School at Seven Years Old. London :
Allen & Unwin.
Robinson, Philip. 2006. Beberapa Perspektif Sosiologi
Pendidikan. Penerjemah Hasan Basari. Jakarta :
Rajawali.
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat
Ilmu Sebuah pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Suryabrata,
Sumadi.2003. Proses Belajar Mengajar. Yogyakarta, PT. Onffice.
Syah, Muhibbin. 2007. Psikologi Pedidikan dengan
Pendekatan Baru. Bandung. Remaja
Rosda Karya.
Tantowi, R. 2007. Bimbingan
dan Konseling. Jakarta: Pamatar.
Tucker, C, Hrris, YR, Brady, BA. 2006. The Association
between Parent Bahaviors with the Academic Achievement of African-American
Children and European American Children”, Child-Study-Journal, 26(4), h
253-277.
Vannoy, Steven W. 2000. 10 Anuegrah Terindah untuk
Ananda: Cara Membesarkan Anak dengan Hati. Penerjemah Alwiyah Abdurrahman. Bandung : Kaifa.
Wolf, RM. 2004. The Measurement of Environments. Dalam
Anastasi (Ed), Testing problems in Perspective: Twenty Fifth Anniversary
Volume of Topical Readings
from the Invitational Conference on Testing Problems. Washington DC :
American Council of Education, h 491-503.
Xu Di, 2006. “Teachiong Real World Students: A Study of
the Relationship between Students’ Academic Achievement and Daily-Life
Interfering and Remedial Factors”. College Student Journal, 30, June, h
238-253.
PENGANTAR
Angket
ini disebarkan untuk memperoleh data penelitian tentang “PeranPerhatian
Orangtua Dan Kedisiplinan Guru Dengan Prestasi Belajar Bahasa Indonesia Siswa Sekolah
Menengah Atas Negeri 83 Jakarta” yang digakan untuk penyusunan tesis
Magister Pendidikan Administrasi Pendidikan YAPPAN di Jakarta.
Anda
para siswa kelas X di sekolah ini terpilih
sebagai sampel penelitian. Karena itu kami mohon partisipasi Anda untuk mengisi
angket ini dengan sebebenarnya sehingga dihasilkan data yang valid. Hanya data
berupa skor terhadap jawaban Anda yang akan diolah dalam penelitian, sedangkan
informasi mengenai diri Anda maupun sekolah Anda dijamin kerahasiaannya dan
tidak akan diungkapkan dalam laporan penelitian.
Atas
partisipasi Anda mengisi angket ini kami ucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya. Demikian juga atas izin dari Bapak/Ibu Kepala Sekolah dan
Bapak/Ibu Guru Kelas kepada kami untuk mengambil sampel siswa dari sekolah ini,
kami ucapkan terima kasih banyak.
Jakarta, 2011
PENULIS,
INSTRUMEN
ANGKET KEDISIPLINAN GURU
Petunjuk
Pengisian
1.
Pernyataan berikut menggambarkan perilaku guru kelasmu
dalam mengelola kedisiplinan belajar di kelasmu. Nyatakanlah seberapa sering
perilaku tersebut dilakukan gurumu, dengan menyilangi SL untuk Selalu, S
Sering, J untuk Jarang, JS -= Jarang Sekali, TP untuk Tidak Pernah.
2.
Pengisian angket tidak akan mempengaruhi penilaan
terhadap dirimu dan gurumu, dan apapun jawabanmu tidak akan diketahui oleh
orang lain. Oleh karena itu isilah sesuai dengan penialaianmu sendiri, tanpa
terpengaruh oleh penilaian orang lain.
3.
Terima kasih telah mengisi angket.
NO
|
PERNYATAAN
|
SL
|
S
|
J
|
JS
|
TP
|
1.
|
Gurumu ramah terhadap dirimu
|
|
|
|
|
|
2.
|
Gurumu menilaimu sebagai anak yang baik
|
|
|
|
|
|
3.
|
Gurumu percaya kamu bisa
mengatur diri sendiri
|
|
|
|
|
|
4.
|
Gurumu mulai mengajar setelah
murid-murid tenang
|
|
|
|
|
|
5.
|
Gurumu mengabsen sebelum
mulai mengajar
|
|
|
|
|
|
6.
|
Gurumu mengajar tepat waktu
|
|
|
|
|
|
7.
|
Gurumu mengubah tata tertib kelas yang memberatkan
siswa
|
|
|
|
|
|
8.
|
Gurumu menegur kalau kamu
melakukan kesalahan
|
|
|
|
|
|
9.
|
Kamu melaporkan temanmu yang
melanggar tata tertib kelas
|
|
|
|
|
|
10.
|
Gurumu menjelaskan tujuan
dari setiap tata tertib belajar di kelas
|
|
|
|
|
|
11.
|
Tata tertib kelas tidak membebani dirimu
|
|
|
|
|
|
12.
|
Guru hadir mengajar tepat
waktu
|
|
|
|
|
|
13.
|
Gurumu memujimu jika kamu tertib
|
|
|
|
|
|
14.
|
Gurumu memuji kelas yang tertib
|
|
|
|
|
|
15.
|
Tegoran gurumu mudah dimengerti
|
|
|
|
|
|
16.
|
Gurumu menjelaskan akibat buruk menyontek saat
ulangan
|
|
|
|
|
|
17.
|
Gurumu membiarkan celetukan
murid saat belajar
|
|
|
|
|
|
18.
|
Gurumu memberikan bimbingan
kepala anak yang bermasalah
|
|
|
|
|
|
19.
|
Gurumu tidak menakut-nakuti
murid dengan hukuman
|
|
|
|
|
|
20.
|
Nasehat gurumu menyenangkan hati
|
|
|
|
|
|
21.
|
Gurumu memanggil murid yang
bermasalah
|
|
|
|
|
|
22.
|
Gurumu memberi peringatan
kepada murid yang melanggar tata tertib kelas
|
|
|
|
|
|
23.
|
Guru lain membantu gurumu
mengatasi murid yang tak bisa diatasi
|
|
|
|
|
|
24.
|
Gurumu minta bantuan kepala sekolah mengatasi
murid yang tak bisa diatasinya
|
|
|
|
|
|
25.
|
Guru tidak senang pada dirimu
|
|
|
|
|
|
26.
|
Gurumu mencapmu sebagai anak nakal
|
|
|
|
|
|
27.
|
Perintah gurumu tidak kamu
laksanakan
|
|
|
|
|
|
28.
|
Gurumu tetap mengajar
walaupun siswa ribut
|
|
|
|
|
|
29.
|
Gurumu tidak menegur jika
kamu bolos
|
|
|
|
|
|
30.
|
Gurumu keluar masuk kelas
sewaktu mengajar
|
|
|
|
|
|
31.
|
Guru melaksanakan aturan
walaupun memberatkan siswa
|
|
|
|
|
|
32.
|
Gurumu membiarkanmu melakukan kesalahan
|
|
|
|
|
|
33.
|
Kamu membiarkan temanmu melanggar tata tertib
kelas
|
|
|
|
|
|
34.
|
Gurumu tidak menjelaskan tujuan tata tertib kelas
|
|
|
|
|
|
35.
|
Kamu tidak senang dengan tata
tertib kelas
|
|
|
|
|
|
36.
|
Guru mengajar tidak sesuai
jadwal
|
|
|
|
|
|
37.
|
Gurumu membiarkan anak yang
melanggar tata tertib kelas
|
|
|
|
|
|
38.
|
Gurumu membiarkan kelas yang
gaduh saat belajar
|
|
|
|
|
|
39.
|
Tegoran gurumu melantur kemana-mana
|
|
|
|
|
|
40.
|
Gurumu tidak menjelaskan
akibat dari membolos
|
|
|
|
|
|
41.
|
Gurumu marah jika dicandai
murid saat belajar
|
|
|
|
|
|
42.
|
Gurumu membiarkan murid yang
bermasalah
|
|
|
|
|
|
43.
|
Gurumu menakut-nakuti murid dengan hukuman
|
|
|
|
|
|
44.
|
Nasehat gurumu menyakitkan hati
|
|
|
|
|
|
45.
|
Gurumu membiarkan murid
berbuat kesalahan
|
|
|
|
|
|
46.
|
Gurumu langsung menghukum
murid tanpa melalui peringatan terlebih dahulu
|
|
|
|
|
|
47.
|
Gurumu tidak bekerjasama
dengan guru lain mengatasi murid yang tak bisa diatasi
|
|
|
|
|
|
48.
|
Gurumu membiarkan murid yang tidak bisa diatasinya
sendiri
|
|
|
|
|
|
INSTRUMEN
ANGKET PERHATIAN ORANGTUA
Petunjuk
Pengisian
1.
Pernyataan
berikut menggambarkan perilaku orangtuamu dalam memperhatikan pendidikanmu.
Nyatakanlah, dengan menyilangi SL untuk Selalu, S Sering ,
J untuk Jarang, JS = Jarang Sekali, TP untuk Tidak Pernah.
2.
Pengisian
angket tidak akan mempengaruhi penilaan terhadap diri dan orangtuamu, dan
apapun jawabanmu tidak akan diketahui oleh orang lain. Oleh karena itu isilah
sesuai dengan penilaianmu sendiri, tanpa terpengaruh oleh penilaian orang lain.
3.
Terima kasih kamu telah mengisi angket.
NO
|
PERNYATAAN
|
SL
|
S
|
J
|
JS
|
TP
|
1.
|
Orangtuamu berupaya menyediakan segala peralatan
belajarmu
|
|
|
|
|
|
2.
|
Orangtuamu membantumu
menyelesaikan pekerjaan rumahmu
|
|
|
|
|
|
3.
|
Orangtuamu membahas
masalah-masalahmu dalam belajar
|
|
|
|
|
|
4.
|
Orangtuamu membahas
masalah belajarmu dengan gurumu
|
|
|
|
|
|
5.
|
Orangtuamu menghadiri
acara-acaramu di sekolah
|
|
|
|
|
|
6.
|
Orangtuamu berupaya
menjadikan rumahmu nyaman bagimu untuk belajar
|
|
|
|
|
|
7.
|
Orangtuamu mengetahui teman-temanmu
|
|
|
|
|
|
8.
|
Orangtuamu berusaha membina
hubungan dengan sekolah
|
|
|
|
|
|
9.
|
Orangtuamu ikut dalam organisasi orangtua murid
|
|
|
|
|
|
10.
|
Orangtuamu berusaha melengkapi buku pelajaranmu
|
|
|
|
|
|
11.
|
Orangtuamu menjelaskan pekerjaan rumah yang tidak
kamu pahami
|
|
|
|
|
|
12.
|
Orangtuamu menanyakan masalah-masalah yang kamu
hadapi dalam belajar
|
|
|
|
|
|
13.
|
Orangtuamu bertanya pada gurumu tentang masalah
yang kamu hadapi dalam belajar di sekolah
|
|
|
|
|
|
14.
|
Orangtuamu turut hadir jika kamu tampil dalam
acara-acara di sekolah
|
|
|
|
|
|
15.
|
Suasana di rumah membuatmu asyik belajar
|
|
|
|
|
|
16.
|
Kamu dilarang orangtuamu
bergaul dengan sembarang anak
|
|
|
|
|
|
17.
|
Orangtuamu hadir jika
diundang ke sekolah
|
|
|
|
|
|
18.
|
Orangtuamu ikut dalam
rapat orangtua murid
|
|
|
|
|
|
19.
|
Alat-alat tulismu tersedia
lengkap
|
|
|
|
|
|
20.
|
Orangtuamu memeriksa pekerjaan rumahmu
|
|
|
|
|
|
21.
|
Orangtuamu ingin tahu apa yang kamu lakukan
disekolah
|
|
|
|
|
|
22.
|
Orangtuamu menghubungi guru jika ada masalah
menyangkut dirimu di sekolah
|
|
|
|
|
|
23.
|
Orangtuamu suka menyaksikan kamu tampil dalam
acara-acara sekolah
|
|
|
|
|
|
24.
|
Orangtuamu tidak mau menyuruhmu pekerjaan lain
jika kamu sedang belajar dirumah
|
|
|
|
|
|
25.
|
Orangtuamu ingin tahu dengan siapa kamu bermain di
luar rumah
|
|
|
|
|
|
26.
|
Orangtuamu mudah dihubungi sekolah jika ada
keperluan
|
|
|
|
|
|
27.
|
Orangtuamu aktif dalam kegiatan-kegiatan orangtua
murid
|
|
|
|
|
|
28.
|
Orangtuamu acuh tak acuh dengan keperluan alat
belajarmu
|
|
|
|
|
|
29.
|
Orangtuamu tidak mau terganggu dengan urusan
pekerjaan rumahmu
|
|
|
|
|
|
30.
|
Orangtuamu tidak mau tahu dengan urusan belajarmu
|
|
|
|
|
|
31.
|
Orangtuamu enggan membahas masalah belajarmu
dengan guru
|
|
|
|
|
|
32.
|
Orangtuamu tidak sempat menghadiri acara-acaramu
di sekolah
|
|
|
|
|
|
33.
|
Kamu terlalu sibuk membantu orangtuamu sehingga
tidak sempat belajar di rumah
|
|
|
|
|
|
34.
|
Orangtuamu tidak peduli
dengan siapa kamu berteman
|
|
|
|
|
|
35.
|
Orangtuamu keberatan dimintai
bantuan sumbangan pendidikan oleh pihak sekolah
|
|
|
|
|
|
36.
|
Orangtuamu enggan menghadiri rapat-rapat orangtua
murid
|
|
|
|
|
|
INSTRUMEN
PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA
PETUNJUK :
Lingkari jawaban yang paling kamu anggap benar.
- Setelah kalian mendengarkan laporan pengamatan atau perjalanan, banyak
hal kalian ketahui, Kini pengetahuan kalian bertambah lagi.
Perbaikan penggunaan tanda baca pada kalimat di atas adalah....
- tanda baca koma (,) ditulis sesudah kata setelah
- antara kata perjalanan
dengan kata banyak dipisahkan
tanda baca titik (.)
- antara kata ketahui dan
kata Kini seharusnya ada tanda
baca titik (.)
- semua tanda baca pada paragraf tersebut diganti titik (.)
- Strategi yang ditempuh untuk mengatasi kemiskinan ialah mengintegrasi
2 program. Kedua program tersebut yaitu : Program Pengembangan Kecamatan
(PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) menjadi
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.
Gagasan utama paragraf tersebut adalah....
- strategi mengatasi kemiskinan
- program pemerintah mengatasi kemiskinan
- program Menkokesra
- Program PPK dan P2KP
- Makna kata program pada
paragraf tersebut adalah....
- urutan perintah yang diberikan pada komputer untuk membuat fungsi
atau tugas tertentu
- rancangan mengenai asas serta usaha
- serangkaian instruksi yang mengatur langkah-langkah yang harus
diambil oleh suatu sistem
- rencana untuk melakukan suatu kegiatan yang telah ditempuh
- Strategi apa yang dijalankan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan?
- mengintegrasikan dua program
- memasyarakatkan kesejahteraan
- mengumumkan perekonomian
- merencanakan program
- Alternatif Tarif Busway
Tarif
|
Subsidi
|
Rp 3.500,00
Rp 4.000,00
Rp 4.500,00
Rp 5.000,00
Rp 5.500,00
|
Rp 258 milyar
Rp 246 milyar
Rp 234 milyar
Rp 222 milyar
Rp 210 milyar
|
Berapakah alternatif tarif Busway, jika pemerintah menghendaki subsidi
paling kecil?
a. Rp
3.500,00 b. Rp
4.000,00
c.Rp
4.500,00 d.Rp 5.500,00
- Pernyataan yang sesuai dengan isi tabel adalah….
- setiap
alternatif tarif busway naik Rp 500,00 maka subsidi yang dikeluarkan
pemerintah naik Rp 12 miliar
- setiap
alternatif tarif busway naik Rp 500,00 maka subsidi juga naik menjadi Rp
222 miliar
- Tarif
alternatif busway yang paling tepat adalah Rp 5.000,00 karena subsidi
pemerintah hanya Rp 222 miliar
- Alternatif
busway tertinggi adalah Rp 5.500,00 apabila subsidi yang diinginkan juga
tinggi
- Sebuah situs
internet bernama karangsemproperty.com memasang iklan penjualan dua pulau
di Nusa Tenggara Barat. Dua pulau itu adalah Pulau Panjang seluas 33 hektar dan pulau meriam besar seluas 5
hektar.
Perbaikan penulisan huruf dalam paragraf tersebut adalah....
- k dan c pada karangsemproperty.com harusnya berhuruf kapital
- p pada pulau di Nusa Tenggara Barat harusnya huruf kapital
- p, m, dan b pada kata kata pulau meriam besar seharusnya huruf
kapital
- h pada kata hektar harusnya huruf kapital
- ....
Teruslah o. Teratai bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biar sedikit penjaga taman
......
Isi puisi tersebut adalah....
a. mengharapkan bunga teratai agar tidak layu
b. agar bangsa Indonesia menjaga taman
c. kebun yang tumbuh subur bagaikan taman yang indah
d. mengharapkan sesuatu untuk dipertahankan
- Tirani adalah pikiran
Yang dipindahkan ke dalam slogan
Yang menguntai pikiran
Kata yang berima dari bait puisi tersebut adalah....
a. tirani – pikiran b.
tirani – slogan c.
pikiran – slogan d. yang – pikiran
- Eto`o sebagai striker Barcelona dianggap sebagai salah satu penyerang
yang paling berbahaya saat ini. Ungkapan Fabregas itu dilandasi rasa
kagumnya atas Eto`o dalam mengolah si kulit bundar itu di lapangan. Kritikan terhadap isi paragraf tersebut adalah....
- Ia memang penyerang paling berbahaya saat ini
- Sebaiknya tidak berlebihan jika menilai seseorang
- Kekaguman seseorang yang berlebihan terhadap idolanya
- Striker paling berbahaya dalam mengolah si kulit bundar
- (1) Cuaca kota Bandung sangat dingin. (2) Kali ini dinginnya melebihi
hari-hari sebelumnya. (3) Dinginnya suhu udara di Bandung mencapai 24 C.
(4) Data tingkat suhu udara ini terdapat di papan informasi pengukur suhu
di jalan-jalan besar di kota Bandung.
Kalimat yang berupa pendapat pada paragraf diatas terdapat pada....
a. (1) dan (2) b. (1)
dan (3) c. (2) dan (3) d. (2) dan (4)
- Pada umumnya, sakit tenggorokan disebabkan oleh virus. Biasanya,
terkait dengan tanda-tanda penyakit saluran nafas lainnya. Seperti, hidung
tersumbat atau batuk. Kebanyakan sakit tenggorokan dapat sembuh dengan
sendirinya. Namun, untuk membantu agar lebih nyaman ketika sakit, dapat
dilakukan dengan minum air hangat yang diberi perasan air jeruk lemon dan
madu.
Simpulan paragraf tersebut yang tepat adalah....
- Penyakit tenggorokan disebabkan oleh virus
- Tanda-tanda penyakit tenggorokan adalah hidung tersumbat
- Usaha meringankan rasa sakit ketika menderita sakit tenggorokan
- Sakit tenggorokan dapat dikurangi dengan minum air perasan jeruk
lemon
- Kutipan I
Pukul lima, selagi masih
buta, kentongan membangunkan para kuli dari tidurnya yang berat terlena. Mereka
bangun sambil menggeliat, dan menggaruk diri. Nyamuk dan kutu busuk sepanjang
malam menggigit dan menyengat mereka.
Kutipan II
”Apa salahku, apa
salahku, mengapa kau katakan, aku tidak suka makan gulai seenak itu? Supaya aku
tidak makan dan kamu yang akan menghabiskannya,” kataku kesal.
Perbedaan karakteristik kedua kutipan novel tersebut adalah....
Kutipan I
|
Kutipan II
|
|
a.
|
Tokoh yang terlihat banyak
|
Tokoh yang terlihat dua
|
b.
|
Sudut pandang diaan
|
Sudut pandang akuan
|
c.
|
Latar tidak jelas
|
Latar jelas
|
d.
|
Amanat jelas
|
Amanat tidak jelas
|
- ....
Apa yang harus kulakukan? Pikirnya. Tepat ketika itu ia ingat, seseorang
pernah berkata, kalau menemukan uang, kita harus menyerahkannya pada polisi.
Tapi di kereta tidak ada polisi. Jadi, bagaimana? Tiba-tiba pintu ruang
kondektur terbuka. Kondektur masuk ke gerbong tempat Totto-Chan berdiri.
Totto-Chan tidak tahu apa yang mendorongnya bertindak ; ia menginjak uang logam
lima sen itu dengan kaki kanannya. Karena mengenali Totto-Chan, kondektur
tersenyum kepadanya. Tapi Totto-Chan tak dapat membalas senyum pria itu dengan
sepenuh hati. Ia merasa bersalah gara-gara uang lima sen yang ditutupinya.
Sikap totto-Chan yang patut ditiru dalam kehidupan sehari-hari adalah....
a. merasa bersalah telah melakukan hal yang tidak baik
b. tidak mau menyerahkan uang yang ditemukan
c. berusaha menyembunyikan jika menemukan sesuatu
d. menganggap barang yang ditemukan sebagai milik pribadi
- Bukti watak kondektur ramah
pada kutipan cerita di atas adalah....
a. marah b. menyapa c. tertawa d.
tersenyum
- Konflik yang dihadapi tokoh pada kutipan cerita terjemahan tersebut
adalah....
a. membalas senyuman b.
perbedaan keinginan
c. menemukan uang d. naik kereta api
- Latar tempat dalam kutipan cerita terjemahan dia ats adalah....
a. di stasiun kereta api b.
di sekolah
c. di dalam kereta api d. di rumah
Rumah terlihat sepi ketika Rama pulang dari sekolah. Kakak terbaring di
kamarnya.
Rama
: Assalamualaikum. Rama pulang. Kakak di mana ?
Kakak : (suara
pelan) di kamar, Ram. Huk...huk....(batuk)
Rama
: Kakak kenapa? (nada sedikit khawatir)
Rama ambilkan air ya.
Kakak : Kakak sedang flu dan
demam. Tolong ambilkan obat di kotak obat, Ya.
Rama : Baik, kak. (bergegas mengambil obat)
- Suasana yang tergambar dalam kutipan drama di atas adalah....
a. tegang b. Sedih c. Gembira d. santai
- Latar kutipan drama tersebut terjadi di....
a. kamar b. Dapur c. Halaman d. rumah
- Nilai agama yang dapat diteladani dari kutipan drama di atas
adalah....
- mengambilkan air bagi orang lain
- mengucapkan salam sebelum masuk
- menyapa pada saat pulang
- harus khawatir pada kakak kandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar