Jumat, 06 Maret 2009

Sastrawa Indonesia

Ahmadun Yosi Herfanda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklope
Ahmadun Yosi Herfanda atau juga ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH (lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958) adalah seorang penulis puisi, cerpen, dan esei dari Indonesia. Ahmadun dikenal sebagai sastrawan Indonesia yang banyak menulis esei sastra dan sajak sufistik. Namun, penyair Indonesia dari generasi 1980-an ini juga banyak menulis sajak-sajak sosial-religius. Sementara, cerpen-cerpennya bergaya karikatural dengan tema-tema kritik sosial. Ahmadun juga banyak menulis esei sastra.
Sehari-hari kini Ahmadun menjadi wartawan (dengan inisial AYH) dan redaktur sastra Harian Republika dan pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2006, tapi mengundurkan diri. Ia juga sering diundang untuk membacakan sajak-sajaknya maupun menjadi pembicara dalam berbagai pertemuan sastrawan serta diskusi dan seminar sastra nasional maupun internasional.
Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, ia mendirikan Creative Writing Institute (CWI). Tahun 2007 terpilih sebagai Ketua Umum Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2010). Tahun 2008 terpilih sebagai Ketua Umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2006-2009, tapi mengundurkan diri. Ahmadun juga pernah menjadi anggota Dewan Penasihat dan anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Dianggap sebagai salah satu sastrawan Indonesia terkemuka saat ini.
Karya
Karya-karya Ahmadun dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri, antara lain, Horison, Ulumul Qur'an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antologi puisi Secreets Need Words (Ohio University, A.S., 2001), Waves of Wonder (The International Library of Poetry, Maryland, A.S., 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam "Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman" (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Beberapa buku karya Ahmadun yang telah terbit sejak dasawarsa 1980-an, antara lain:
Ladang Hijau (Eska Publishing, 1980),
Sang Matahari (kumpulan puisi, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, Nusa Indah, Ende, 1984),
Syair Istirah (bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Sayuti, Masyarakat Poetika Indonesia, 1986),
Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1990),
Sebelum Tertawa Dilarang (kumpulan cerpen, Balai Pustaka, 1997),
Fragmen-fragmen Kekalahan (kumpulan sajak, Forum Sastra Bandung, 1997),
Sembahyang Rumputan (kumpulan puisi, Bentang Budaya, 1997),
Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan puisi, bilingual, Logung Pustaka, 2004),
Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (kumpulan cerpen, Bening Publishing, 2004),
Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, 2004),
The Warshipping Grass (kumpulan puisi bilingual, Bening Publishing, 2005),
Resonansi Indonesia (kumpulan sajak sosial, Jakarta Publishing House, 2006),
Koridor yang Terbelah (kumpulan esei sastra, Jakarta Publishing House, 2006).



Ayu Utami


Ayu Utami, 2005
Justina Ayu Utami adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik di masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larung.
//
Pendidikan
SD Regina Pacis, Bogor (1981)
SMP Tarakanita 1 Jakarta (1984)
SMA Tarakanita 1 Jakarta (1987)
Jurusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994)
Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995)
Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999)
Karir dan kegiatan
Wartawan lepas Matra
Wartawan Forum Keadilan
Wartawan D&R
Anggota Sidang Redaksi Kalam
Kurator Teater Utan Kayu
Pendiri dan Anggota Aliansi Jurnalis Independen
Peneliti di Institut Studi Arus Informasi
Saman
Penulis
Ayu Utami
Negara
Indonesia
Bahasa
Indonesia
Genre
Roman
Penerbit
•Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Tanggal terbit
April 1998
Halaman
VII, 208 halaman
ISBN
ISBN 979-9023-17-3
Saman adalah novel pertama karya Ayu Utami yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada bulan April 1998.
Novel ini pada awalnya direncanakan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami, Laila Tak Mampir di New York. Buku ini memenangkan Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Saman mengambil seting Indonesia tahun 80-an dan 90-an, di mana para tokohnya saling berinteraksi di tengah kondisi sosial, politik dan budaya Indonesia pada masa itu. Tokoh utamanya adalah Saman (seorang mantan pastur yang bernama Athanasius Wisanggeni) dan empat perempuan yang bersahabat dari SMP sampai mereka dewasa, yaitu Yasmin Moningka, Shakuntala, Cokorda, dan Laila.
Larung
Penulis
Ayu Utami
Negara
Indonesia
Bahasa
Indonesia
Genre
Roman
Penerbit
•Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Tanggal terbit
November 2001
Halaman
vii, 260 halaman
ISBN
ISBN 979-9023-63-7
Larung adalah novel kedua karya Ayu Utami yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada bulan November 2001.
Novel ini adalah kelanjutan dari Saman yang pada awalnya dua novel tersebut direncanakan sebagai buku berjudul Laila Tak Mampir di New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot berkembang melampaui rencana.Pada akhirnya Saman dan Larung merupakan dwilogi yang berdiri sendiri. Pada buku ini bertambah lagi satu tokoh utama bernama Larung Lanang.
Dorothea Rosa Herliany
Dorothea Rosa Herliany (lahir 20 Oktober 1963 di Magelang) ialah seorang penulis dan penyair Indonesia.
Setamat SMA Stella Duce di Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta (kini Universitas Sanata Dharma) dan tamat dari sana tahun 1987.
Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar Harapan dan majalah Prospek di Jakarta. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang.
Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), dan Kill the Radio (Sebuah Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001). Kumpulan cerpennya: Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).


Emha Ainun Nadjib


Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib (Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953), adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung nafas islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.
Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogya antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha.
Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas genre.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
//
Teater
Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halimd HD, jaringan kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
Puisi/Buku
Menerbitkan 16 buku puisi:
“M” Frustasi (1976),
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
Sajak-Sajak Cinta (1978),
Nyanyian Gelandangan (1982),
99 Untuk Tuhanku (1983),
Suluk Pesisiran (1989),
Lautan Jilbab (1989),
Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
Cahaya Maha Cahaya (1991),
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
Abacadabra (1994),
Syair Amaul Husna (1994)


Essai/Buku
Buku-buku esainya tak kurang dari 30 antara lain:
Dari Pojok Sejarah (1985),
Sastra Yang Membebaskan (1985)
Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
Markesot Bertutur (1993),
Markesot Bertutur Lagi (1994),
Opini Plesetan (1996),
Gerakan Punakawan (1994),
Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
Slilit Sang Kiai (1991),
Sudrun Gugat (1994),
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
Bola- Bola Kultural (1996),
Budaya Tanding (1995),
Titik Nadir Demokrasi (1995),
Tuhanpun Berpuasa (1996),
Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
Kiai Kocar Kacir (1998)
Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999)
Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
Menelusuri Titik Keimanan (2001),
Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
Segitiga Cinta (2001),
“Kitab Ketentraman” (2001),
“Trilogi Kumpulan Puisi” (2001),
“Tahajjud Cinta” (2003),
“Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003),
Folklore Madura (2005),
Puasa ya Puasa (2005),
Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara),
Kafir Liberal (2006)
Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)
"Istriku Seribu" Polimonogami Monopoligami...(Januari 2007, Essai)
"Tidak.Jibril Tidak Pensium (Penerbit Progress,Cet. I, Juli 2007,)

Novia Kolopaking
Novia Kolopaking

Latar belakang
Nama lahir
Novia Kolopaking
Lahir
9 November 1972 (umur 35)Indonesia
Genre
pop
Pekerjaan
aktris, penyanyi
Tahun aktif
1989-sekarang
Perusahaan rekaman
Musica Studios
Berhubungan dengan
Kiai Kanjeng
Pasangan
Emha Ainun Nadjib
Novia Kolopaking (lahir di Bandung, Jawa Barat, 9 November 1972; umur 35 tahun) adalah seorang seniman Indonesia. Ia banyak berkiprah di bidang sastra, terutama puisi, sebagai pemain drama dan film, serta penyanyi.
Sejak masih kanak-kanak nama Novia telah dikenal melalui sejumlah majalah anak-anak dan penampilan di panggung, baik sebagai penyanyi atau pemain sandiwara. Namun demikian, namanya benar-benar naik ke pentas seni nasional di saat ia bermain sebagai "Emak" dalam film serial televisi Keluarga Cemara dan berperan sebagai "Siti Nurbaya" dalam film televisi Sitty Nurbaya. Walaupun banyak yang tidak menyadari, ia juga pernah mengisi suara tokoh "Dewi Anjani" dalam sandiwara radio Saur Sepuh.
Dalam bidang tarik suara ia dikenal melalui sejumlah hit populer seperti Kembali, Untukmu Segalanya, Dengan Menyebut Nama Allah, serta lagu "daur ulang" Bunga Mawar.
Novia menikah pada tanggal 22 Maret 1997 dengan Emha Ainun Nadjib dan dikaruniai 4 orang anak. Walaupun tidak banyak muncul dalam pentas nasional, ia kerap mendampingi perjalanan kelompok Kiai Kanjeng mengunjungi berbagai tempat di Indonesia dan juga dunia.
Setelah vakum bermain sientron selama delapan tahun, ibu tiri vokalis Letto, Noe ini kembali main sinetron bertemakan religi, Rinduku Cintamu (2008).[1]
Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma (lahir 19 Juni 1958 di Boston) adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah Atas Nama Malam, Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja.
Dia juga terkenal karena dia menulis tentang situasi di Timor Timur tempo dulu. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkan dalam trilogi buku Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (roman), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai).
Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada tanggal 24 Juni 1941 adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.

Tidak ada komentar: